Bocah Keriting yang Malang

737 81 9
                                    


(Akhir Februari 2000 Kota Tanah Padat)

Detik-detik yang terasa begitu lambat itu akhirnya terasa melegakan saat keluarga korban sampai di Rumah Sakit. Tentu saja terasa melegakan bagi saya, ketika saya tahu bahwa anak keriting ini akan segera bertemu keluarga besarnya.

Saat itu saya memperhatikan bagaimana keluarga mereka sangat terpukul dengan kerabatnya yang meninggal, di koridor rumah sakit sudah ramai kerabat korban yang terlihat saling menguatkan, saling berpelukan dan menangisi kerabatnya yang baru saja meninggal.

Udara pilu itu seolah-olah juga merasuki saya, terasa kering dan juga dingin. Terasa menghantam kuat di dalam bagian dada yang tidak tahu dimana letak persisnya.
Dari keramaian akan nada sendu itu,  ternyata ada sesuatu yang nampak ganjil.

Tidak ada yang bertanya tentang nasib si bocah rambut keriting, tidak ada yang mencari dimana anak dari sang korban kecelakaan itu berada.

Tidak ada,

sampai pandangan saya tersentak ketika ada tangan mungil yang meremas kaos saya dari bawah, saya menatap bocah cilik itu yang juga sama sekali tidak ada niatan mendekat kepada kerabatnya disana.

Saya menunduk dan  mengajak bocah ini untuk menemui kerabatnya, tetapi bocah keriting itu hanya diam tanpa mau berjalan mendahului saja. Sebab saya takut bila kerabat mereka sampai pergi, saya segera membawa sang bocah menuju kerabatnya.

Ada cengkaraman yang lebih kuat ketika saya semakin mendekat, bocah keriting itu justru menyembunyikan wajahnya di leher saya. Saya tidak tahu pasti saat itu, saya rasa dia mungkin ketakutan. Tetapi apa yang harus dia takutkan? Bukankah jika dia bersama kerabatnya akan menjadi lebih baik daripada bersama orang asing seperti saya?

“Ha.. ya, ga nna na,” saya tidak tahu apa yang diucapkan bocah ini, gumaman itu terdengar lirih saat saya hampir sampai ke salah satu kerabatanya.

“Permisi,” ujar saya pada salah satu lelaki yang baru saja mengurus biaya administrasi mungkin, sebab dia membawa beberapa kertas di tangannya. Suara saya membuat pandangan lelaki itu teralihkan pada saya. Tepat ketika lelaki itu menoleh dan menatap si bocah keriting ini, alangkah terkejutnya saya ketika saya mendapat cengkraman lebih kuat dari sang bocah. Dia, seperti merasa ketakutan.

“Jangan bawa anak sialan itu pada kami!!”

Bentakan itu menggema nyaring, penolakan itu terasa besar dari setiap mata merah yang melotot kepada saya atau lebih tepatnya kepada bocah keriting yang berada di gendongan saya, saya baru saja akan membaca maksud dari lelaki itu, tetapi saya tidak mampu berpikir jernih ketika melihat tatapan dari keluarganya yang sekarang sedang menuju ke arah bocah ini seolah-olah menegaskan hal yang sama.

Penolakan. Baik dari tatapan itu, sekarang dari cengkraman sang anak yang semakin erat pun menandakan bahwa dia memang berada pada lingkaran penolakan keluarganya.

“Tapi, bukankah anak ini kerabat kalian?”

Saya masih mencoba menanyakan, meski rasanya saya sudah tahu akan lebih buruk ketika seorang wanita datang ke hadapan saya dengan nyalang menatap marah kea rah saya.

“Kami tidak sudi mempunyai keturunan gagu, bisu. Dia bukan kerabat kami!”

Gagu? Bisu? Saya menatap bocah cilik yang sekarang berada di gendongan saya, dia mulai menangis sambil terisak lirih. Tetapi cengkraman di baju saya semakin erat seperti menandakan bahwa dia memang merasa ketakuatan.

“Bawa dia pergi dari hadapan kami!” sentaknya lalu melewati saya yang masih terpaku. Kepergian kerabat besar sang bocah rasanya seperti pertunjukan bahwa keadaan di dunia memang terisi oleh banyak manusia yang menyebalkan, banyak terisi oleh penolakan.

Sebuah Dandelion dari 056Where stories live. Discover now