Kemarahan Kedua

379 53 5
                                    

Agustus 2004

Seiring dengan berjalannya waktu. kehidupan saya sepenuhnya berubah, terutama dengan sikap dan tingkah laku yang sepertinya sudah mirip bapak-bapak. Setelah saya dan Pijar meninggalkan kontrakan Beva, saya mencari rumah yang cukup murah lagi, tentu saja dengan bantuan si gonrong teman saya seperti yang saya ceritakan sebelumnya. Dan hampir selama 3 tahun belakangan saya juga memulai usaha bengkel saya di depan rumah. Cukup menguntungkan dan membantu saya dalam memenuhi kebutuhan kami, selain itu saya dapat membeli beberapa peralatan dapur dengan kualitas baik, bahan makanan yang cukup untuk makan 3 hari kedepan misalnya, atau juga cukup untuk membiayai sekolah Pijar.

Meski saya juga sudah cukup terbantu dengan Pijar yang mendapat beasiswa, tetap saja, saya ingin memberikan uang saku pada gadis keriting yang kini sudah menginjak umur 8 tahun.

Perubahan yang saya maksud dari diri saya tentu saja cukup banyak, saya mulai memasak sendiri, mulai mengerti cara membenarkan televisi atau kipas angin jika mati, membenarkan atap yang kadang bocor, dan juga bisa sedikit menawar harga barang di pasar seperti yang dilakukan para ibu.

Meski sudah berusaha dengan keras, satu-satunya hal yang belum atau bahkan tidak bisa saya lakukan adalah bagaimana cara mengucir rambut seorang anak perempuan. Saya tidak bisa mengepang dengan rapi, mengikat kuda rambut saja miring ke salah satu sisi.

Sungguh, jadi saya hanya akan memberikan Pijar sisir dan juga karet gelang, kadang Pijar membiarkan rambut keritingnya terurai, kadang dikucir satu dan yang paling aneh menurut saya adalah ketika pijar mengepang rambut keritingnya. Tapi tentu saja saya tetap mengatakan bahwa Pijar cantik. Ah, bukan maksud untuk menghibur dia. Tetapi memang dia selalu terlihat cantik. Jelas, dia adalah putri Zero.

“Hari ini kau ada kelas menggambar benar?”  Pijar mengangguk. Dengan diam-diam saya sengaja meletakan pensil warna baru di tas Pijar. Jadi seperti ini, dua hari yang lalu saya tidak sengaja melihat buku gambar Pijar yang tergeletak di depan Tv. Saya iseng membukanya dan menemukan banyak gambar yang menurut saya sangat luar biasa karena dibuat dengan tangan mungil seorang anak yang baru menginjak kelas 3 SD. Kemarin sore, saya sengaja mengunjungi toko alat sekolah.

Dengan bantuan petugas disana, saya diberi beberapa pilihan pensil warna dengan berbagai macam bentuk dan merek. Saya mengambil satu, yang paling besar dan tentu saja memang cukup mahal untuk ukuran saya yang tidak pernah membelikan Pijar peralatan sekolah dengan harga diatas 10.000. 

Saya berniat membuat kejutan saat nanti dia sampai di sekolah dan menemukan sebuah kotak pensil warna serta surat kecil dari saya yang isinya ‘Sekali-kali gambar saya Pijar’.

Pasti dia akan senang dengan hal itu.

Memang benar, saya masih menggunakan kata ganti ‘saya’ untuk Pijar. Saya tidak pernah menyebut diri saya ayah kalau di depan bocah itu. Terlalu malu dan agak takut. Lagipula memang kebiasaan berbicara kaku ini sudah melekat dengan diri saya semenjak dulu, dan beruntung Pijar tidak pernah mengeluhkan hal ini.

“Ha..ga na ta?” ucapnya setelah selesai berberes, sambil menyodorkan tangannya kepada saya. Saya lega, beberapa tahun belakangan ini kehidupan kami membaik. Sesekali mungkin ada tetangga yang mengejek atau membicarakan Pijar. Meski saya sudah menahan mati-matian untuk tidak marah, saya tetap saja selalu mengumpat semoga mereka yang mengolok-olok Pijar akan sakit tenggorokan 3 malam.

Meski umpatan itu hanya saya gumamkan di dalam hati saya. tapi saya bersungguh-sungguh dengan doa buruk itu.

Setiap pagi saya akan mengantar Pijar ke sekolah. Tangan mungilnya yang sangat dingin saya genggam dengan tangan besar saya. Tas yang digunakan Pijar masih sama, seperti saat dia masih di taman kanak-kanak. Saya pernah menawarkan tas baru untuk Pijar, tetapi dia tidak mau justru dia menuliskan bahwa ‘tasnya masih bagus’.  Oh iya, fakta ini membuat saya semakin senang, meski Pijar saat itu masih duduk dikelas 2 dia sudah pandai membaca dan menulis. Saya sangat senang karena komunikasi antara saya dan Pijar pada akhirnya semakin mudah.

Sebuah Dandelion dari 056Where stories live. Discover now