Hari-hari yang Tak Pernah Kembali

286 51 5
                                    

Masih di tahun malapetaka

Setelah malam itu, secara manusia normal saya benar-benar tidak bisa tenang. Setiap kali mendengar para tetangga yang membicarakan korban pembunuhan 5 hari lalu selalu membuat jantung saya berdebar-debar.

Tetapi tidak juga, karena setiap kali saya melihat keadaan Pijar yang semakin banyak melamun dan menangis tiba-tiba membuat sifat dendam saya menguap mengalahkan rasa khawatir saya akan kasus pembunuhan. Saya benar-benar telah melakukannya. Meskipun sejujurnya kemarin saya tidak sampai ingin melenyapkan nyawa seseorang.

Awalnya saya memang berniat membuat mereka lumpuh saja, tetapi malam itu saya kalap, saya seperti diberi kekuatan untuk membunuh para pengacau itu.

“ Zero, sepertinya kita harus membawa Pijar ke psikolog. Aku khawatir sama keadaanya”, ujar Omera saat kami sedang berada di depan Tv mati. Saya bergeming, entah karena terlalu banyak pikiran membuat saya sepertinya terlalu lelah. Ingin pergi saja jauh-jauh.

“Aku udah ada kenalan psikolog, nanti kita bisa bawa Pijar ke……..”

“Omera, saya tidak sengaja membunuh mereka,” saya tidak sanggup lagi harus menyimpannya sendiri. Setelah perkataan saya, keadaan seketika hening. Omera menghentikan kalimat yang akan dia sampaikan pada saya.

Saya tidak melihat bagaimana ekspresi Omera saat itu. Pandangan saya terarah pada televisi yang mati.

“Saya kalap malam itu, saya tidak tahu harus berbuat apa.” Omera masih saja terdiam, saya benar-benar tidak tahu ekpresi apa yang terpancar dari wajah Omera. Saya melanjutkan perkataan saya kemudian.

“Selama masa hidup Pijar bersama saya, dia selalu mendapatkan ketidakberuntungan. Saya selalu mengumpat, selalu menyumpah serapahi orang-orang yang merundung Pijar. Hanya itu yang bisa saya lakukan. Saya pikir, takdir akan lebih menghargai saya. Akan lebih berbaik hati jika saya menjadi manusia baik tanpa membalas perbuatan mereka. Tetapi sepertinya takdir menginginkan saya untuk tidak hanya mengumpat mereka. Takdir yang mendorong saya Omera.”

Saya tidak tahu sejak kapan saya menangis. Saya hanya merasa putus asa saat itu. Setiap hari, ketika siang saya hanya bisa melihat bayangan Pijar di jendela, lalu malamnya saya hanya akan mendengarkan raungan Pijar yang ketakutan.

Saya seperti dikutuk Tuhan untuk menjadi manusia yang tidak pernah bisa berguna bagi Pijar, bayangan itulah yang masih menaykiti saya. Melihat anak perempuannya seperti kehilangan hidupnya, bukankah itu sesuatu yang mengerikan bagi seorang ayah? Omera memeluk saya, membiarkan saya menangis yang entah mengapa rasanya sudah sangat saya tahan lama-lama.

“Saya benar-benar kalap Omera,”

“Sudah-sudah, semuanya akan baik-baik saja,” sapuan halus di punggung saya dari telapak tangan Omera benar-benar tidak mengurangi beban saya. Beban ini begitu berat berada di dalam diri saya.

“Mereka menyebut nama Pijar Omera, mereka membayangi tubuh Pijar seolah-olah adalah mainan, mereka manusia macam apa Omera,” saya tidak sanggup lagi untuk menahannya.

“Mereka menyebut Pijar gagu, mereka memaksa Pijar Omera,”

Omera menangis, dia memeluk saya dan juga ikut merasakan betapa beratnya beban ini.

“Saya benar kan Omera, katakan kalau saya benar,” desak saya dengan terbata sebab ruangan sekaan-akan semakin mencekik diri saya.

“Y-ya kau benar Zero, Pijar beruntung memilikimu,” saya justru menggeleng.

Saya tidak membenarkan perkataannya. Justru Pijar pasti akan merasa malu, akan merasa bahwa saya memang orang yang jahat, orang berdosa yang harus di hukum Tuhan.

“Berjanjilah Omera, jika suatu saat akan ada yang terjadi pada saya. Jaga Pijar, bawa dia ke psikater. Buat Pijar sembuh. Saya mohon.”

Untuk pertama kali, saya merasa begitu takut. Bukan karena apa yang akan terjadi pada saya, tetapi apa yang akan terjadi pada Pijar dikemudian hari setelah saya tiada.

***

(2020 oleh 056 dari jeruji besi tanpa nama)

“Setelah itu kau tertangkap?” Tanya Si tindik yang kini sudah menjadi satu-satunya orang yang mendengarkan cerita saya. Ya, satu hari kemarin para bedebah itu membawa si kurus.

Bagaimanapun, kami berlima disini seperti hidup untuk menunggu antrian eksekusi. Meski yang dikatakan Prava masih sangat begitu saya ingat, bahwa kematian mungkin adalah kebahagiaan kami saat ini, tetap saja saya ingin pulang. Saya ingin melihat Pijar, ingin memakan masakannya, ingin meminum kopi buatannya. Saya ingin berada di rumah bersamanya.

“Ya, beberapa hari kemudian seorang yang berpakaian hitam datang ke rumah saya , saat saya akan pergi ke luar kemudian mereka membawa saya menuju sebuah rumah agak kosong. Dan kisah selanjutnya kau tahu kan?” tanya saya sambil mengingat bagaimana orang-orang itu menghajar saya habis-habisan.

Saya masih ingat setiap pertanyaan yang mereka tanyakan, dan apabila tidak mendapat jawaban yang puas dari saya, mereka akan memukul saya. Saya akan terbiasa bangun dengan guyuran air dingin yang ternyata dicampur dengan es balok ketika tidak sengaja pingsan.

Pertanyaan yang tidak jauh-jauh berbeda ‘Mengapa saya membunuh anak orang penting tak berdosa itu?’ Cih. Tak berdosa matamu! Sebenarnya saya pernah meludahi wajah orang yang menanyai saya, bagaimana tidak? Menyebut pelaku pelecehan seksual sebagai manusia tidak berdosa adalah sesuatu yang menjijikan. Tetapi kemudian saya justru di pukul sampai pingsan.

“Sebenarnya pengaruh mereka seperti apaya, mengapa kita bisa menjadi binatang yang ditahan karena mengusik kehidupan para petinggi itu?” tanya si tindik yang mungkin sama herannya dengan saya.

“Saya pun tidak tahu, yang saya tahu saya hanya ingin segera keluar dari sini.”

“Meski itu berarti kau akan mati?” tanya si tindik dengan suara yang begitu lesu.

Suara-suara inilah yang akan merambat dari angin menuju jendela kecil dan pergi jauh entah kepada siapa, entah kepada telinga mana, meskipun pada akhirnya kebebasan itu adalah tanda akhir hayat hidup kami. Kami benar-benar ingin keluar.

“Ya, meski berarti aku harus mati,”

Sebuah Dandelion dari 056Où les histoires vivent. Découvrez maintenant