HIRAETH - PART 14

77 18 7
                                    

"Dari mana saja kamu!"

Hanbin baru saja sampai ke rumahnya dan disambut oleh kedua orangtuanya dengan wajah marah itu.

"Kenapa tidak menjawab perkataanku!"

"Ada urusan" jawab Hanbin singkat

Ia berjalan masuk tanpa memperdulikan ayah dan ibunya yang memanggil nya dengan sangat keras itu. Ia terlalu lelah dengan hidupnya, ia lelah menjadi boneka hidup untuk  kedua orang tuanya.

Bugh

Kaki Hanbin ditendang dengan sangat keras oleh ayahnya hingga ia terjatuh ke lantai.

"Apa ini!"

Sebuah surat dilemparkan oleh Tuan Choi tepat di depan wajah Hanbin. Disana terdapat sebuah surat dari sekolahnya yang bertuliskan panggilan untuk kedua orang tuanya agar berkenan datang ke sekolah.

"Beraninya kamu mempermalukanku"

Hanbin menarik napasnya untuk menetralkan emosi yang ada dalam dirinya.

"Anda tidak perlu datang, mudah bukan"

Plak

"Kau hanya bisa merepotkan kami saja, penyakitmu bahkan sudah sangat merepotkan dan sekarang apa?! Panggilan dari sekolah apa kau tak memiliki otak untuk berpikir?!"

Deg

Kata-kata menusuk dari mulut ibu kandungnya itu amat menyakitkan. Hanbin berusaha menahan rasa sakit di hatinya saat perempuan yang melahirkannya ke dunia bahkan sangat menyesali kelahirannya. Rasa sakit di kaki karena tendangan ayahnya itu jauh lebih kecil daripada sakit di hatinya karena perkataan tadi.

"Beritahukan ini pada mereka jika aku tak akan datang karena mereka telah salah, karena aku bukan orang tuamu"

Seung-hyun meninggalkan putranya itu sendirian di ruangan itu.

"Hanbin-ah"

Hanbin berjalan tanpa menoleh ke arah Jisoo, ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Rasa nyeri di dadanya kembali muncul. Dadanya terasa sesak seperti ada seseorang yang menekannya dengan sangat keras. Hanbin membuka tasnya dan mecari obat di dalam tas itu. Namun, hasilnya nihil obat itu tak ada di dalam tas nya.

"Assh"

Hanbin mencengkram dadanya menahan sakit yang semakin menjadi. Ia berjalan menuju laci di samping tempat tidurnya untuk mengambil pereda nyeri disana. Ia menyuntikan obat itu kedalam tubuhnya, berharap agar nyeri di dadanya akan membaik. Obat yang sudah menjadi kesehariannya sejak lahir.

"Kenapa ini sangat sakit?!"

Hanbin mencengkram kemeja sekolahnya menahan sakit yang semakin menjadi tiap detiknya, bahkan ketika ia telah menyuntikan obat itu.

"Assh!"

Pintu terbuka, disana terdapat Jisoo yang membawa ember berisi air dingin yang akan ia gunakan untuk mengkompres kaki adiknya itu. Jisoo berlari menuju Hanbin saat dilihatnya pria itu sedang kesakitan.

"Hanbin!'

"Sakit kak, gue sakit!"

Jisoo mengenggam tangan adiknya itu berharap rasa sakitnya kali ini dapat ia bagi. Jisoo sangat menyayangi Hanbin melebihi apapun.

"Lo kuat ayo lawan rasa sakit lo Hanbin"

"Kak, gue pengen pergi" ucapnya lirih

"Hanbin! Lo ngomong apa sih!"

"Kelahiran gue bahkan sebuah kesialan"

"Gak ada yang pernah ngomong gitu, Hanbin-ah"

"Ibu bahkan menyesal karena ngelahirin anak penyakitan kaya gue ka, kenapa gue gak mati aja?!"

Jisoo memeluk tubuh Hanbin dengan erat.

"Lo gak pernah ngerepotin, lo adik gue Hanbin lo bisa sembuh"

Hanbin tak dapat menahan semuanya lagi, bentengnya telah roboh dengan perkataan yang terus terngiang dalam otaknya. Kata-kata itu terus berputar tak mampu untuk ia lupakan. Kata-kata dari wanita yang telah melahirkannya, ibu kandungnya sendiri.

◦◦◦

Play Lean On Me by 10 cm (OST Hotel Del Luna)

Keesokan paginya, Hanbin tiba di depan rumah Jennie. Sesuai dengan apa yang dikatakannya kemarin, lelaki itu tiba di rumah sederhana milik Jennie pukul 05.00 pagi. Suara bel dibunyikannya ketika ia melihat perempuan cantik itu telah rapih berjalan menuju pintu gerbang rumahnya.

"Hi, aku datang"

"Kamu serius datang sepagi ini?"

"Aku menepati janji bukan"

Jennie tersenyum dan mempersilahkan Hanbin untuk masuk.

"Kamu sedang apa?"

"Aku baru saja memasak, kamu sudah makan?"

"Belum"

"Mau makan bersamaku?"

"Jika boleh"

Jennie mengangguk, ia menyiapkan satu piring untuk hanbin dan satu piring lagi untuk dirinya. Setelah selesai, Jennie berjalan mengambil tasnya untuk memberikan barang milik lelaki itu yang tertinggal.

"Ini punyamu kan?"

Hanbin menatap kaget ketika botol obat miliknya berada di tangan Jennie. Ia mengambilnya dengan segera memasukan ke dalam tas nya.

"Ah iy-ya itu milikku"

Jennie mengangguk paham.

"Benda apa itu?"

"Ah ini hanya permen"

"Permen?"

"Ya kau tahu, untuk menyegarkan mulutmu"

"Ah begitu"

"Yasudah ayo kita pergi, hari semakin siang" ucap Hanbin mengalihkan pembicaraan

"Maafkan aku karena harus membohongimu, Jennie-ya" batinnya

Mereka berdua berkeliling untuk mengirimkan koran-koran kepada rumah yang berada di sekitaran daerah itu. Hingga koran tersebut habis, saat ini keduanya tengah duduk menghadap sungai Han yang seolah tak berujung.

"Hanbin"

"Ya?"

"Kau tahu apa yang bisa membuatmu bahagia?"

"Apa itu?"

"Dirimu sendiri"

Jennie tersenyum, sambil menghadap ke depan bahwa matahari telah menampakkan dirinya untuk menghangatkan dunia hari ini, menggantikan sang rembulan yang beristirahat setelah menjadi cahaya dunia yang gelap.

"Kita tak bisa berharap sebuah kebahagian dari orang lain karena suatu waktu pengharapan itu akan menyakiti dirimu sendiri, tetapi ketika kamu bahagia atas dirimu sendiri itulah kebahagiaan yang tak akan menyakiti"

Jennie menoleh ke samping, dimana lelaki itu duduk menatap dirinya.

"Aku berharap semoga kamu selalu bahagia, Hanbin-ah"

"Jennie-ya"

"Hmm"

"Bolehkah kamu memeluku saat ini? Aku rasa, aku akan jatuh"

Jennie memeluk tubuh lelaki itu, mengusap punggungnya untuk memberikan ia ketenangan.

"Aku ada disini, Hanbin-ah"

Tubuh laki-laki itu bergetar, ia tak bisa menahan rasa sakitnya lagi. Ia terlalu rapuh, hatinya terlalu lelah. Rasa sakit itu bagaikan bom yang bisa meledak kapan saja tanpa pemberitahuan. Hanbin tak ingin hidup seperti ini, manusia tak dapat memilih bagaimana takdir yang diberikan untuk nya. Entah itu Jennie ataupun Hanbin mereka hanya bisa terus bertahan. Menegarkan bahunya dan menguatkan kakinya untuk melangkah. Dunia yang memaksa mereka untuk menjadi kuat dan dewasa atas hidupnya. 

HIRAETH | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang