⏲️|41.| Hati-Hati Di Jalan ⏲️

610 120 49
                                    

🎼Dan selesai-Nadin Amizah 🎼

___⏲️⏲️⏲️___
__⏲️⏲️__
_⏲️_
_

"Pada nestapa ku titipkan segala rasa cemas

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Pada nestapa ku titipkan segala rasa cemas. Pun pertemuan akan berujung perpisahan. Jadi apa yang perlu di khawatir? Jangan lupa jalan pulang hati-hati di jalan."

⏲️°°°⏲️

"Udah nangisnya?"

Alkena terdiam suara tangisnya memang kian melirih. Inggit masih setia menemaninya. Perkataan Alkuna memang sangat keterlaluan.

"Makan!" serunya menyodorkan makanan yang hampir dingin.

Inggit sudah kehabisan cara untuk membujuk Alkena berbicara. Rasanya tak mungkin jika ia meninggalkan dia seorang diri. Perasaan kalut pasti menekan dirinya.

"Mau di beliin makanan baru?" tanyanya namun nihil Alkena masih tak angkat bicara.

"Mau kue topping wijen?"

Arah tatap Alkena masih menyudut mengikuti gerakan jarum jam. Baginya jam rustic itu lebih bisa membuatnya tenang. Alunan denting yang indah.

"Suka sama jamnya?" ia mengangguk.

Respon itu sedikit membuat Inggit lega. Setidaknya Alkena masih bisa mendengarkan dirinya berbicara.

"Katanya hidup seperti 'rustic jam' sederhana, tenang dan hangat. Tapi nggak denganku? Hidup seperti di eksekusi waktu yang membunuh." ujarnya pelan nan tajam.

"Pernah nggak ada di posisi jatuh dibantai semesta? Waktu nggak mau diajak kerja sama?" tambahnya.

"Emm?" tanggapnya tak ingin menyela.

Inggit memberikan waktu untuk Alkena mengungkapkan semuanya. Terlalu kolot memang jika dia berusaha menjadi pendengar. Sedangkan dia tak handal memberikan saran.

"Ketika kita udah bangun angan terlalu tinggi dan pada suatu hari angan itu hancur berantakan. Semua kerasa sia-sia!"

"Jerih payah saya sekarang udah nggak ada wujudnya. Dari dulu saya udah coba buat jadi yang terbaik tapi nggak bisa." cairan bening mulai keluar dari pelupuk matanya.

"Kamu tau rasanya diremehkan? Saya coba buktiin ke mereka tapi dengan gampangnya mereka rusak. Bangun rumah makan itu bukan hal mudah." cercanya.

Nafasnya mulai tak teratur, "Jual produk digital pun sering kena tipu. Dan sekarang saya hanya jadi beban! Kapan saya bisa hidup normal kayak mereka-mereka?"

"Saya pun nggak mau punya penyakit epilepsi. Harus bolak-balik rumah sakit cuma buat tes syaraf."

Alkena menoleh pada Inggit. Rasanya sudah campur aduk. Beban dipundaknya sudah terlalu banyak. Bolehkah ia membagi beban itu pada Inggit?

Rustic Jam [END]Where stories live. Discover now