Heartbreak 07

127 98 5
                                    

Pintu utama terbuka, menampakkan bayangan siluet Ha-eun ketika memasuki pintu beserta barang-barang bawaannya di bawah cahaya gelap yang mengisi ruangan tersebut.

Meletakkan semua barangnya di atas lantai, tangannya lantas terulur untuk menekan saklar lampu yang terletak tak jauh di atas meja nakas di sampingnya. Memencet semua tombolnya satu-persatu, yang kemudian menimbulkan munculnya cahaya terang yang dengan cepat menerangi seluruh sudut penjuru ruangan utama.

Ia tersenyum menatap sekeliling. Sofa, meja, televisi dan juga lampu hias. Semuanya masih tertata rapi di tempatnya tanpa ada yang berubah sedikit pun. Ha-eun bersyukur, sudah hampir setengah tahun lamanya tempat ini tak ada yang merawat dan tak berpenghuni, namun keadaannya masih tetap sama. Hanya saja, sedikit berdebu.

Menghembuskan nafasnya lega, Ha-eun lantas kembali meraih gagang koper dan melangkah menariknya. Langkah kakinya berniat membawanya untuk memijak anak tangga yang menghubungkan ke lantai dua. Namun belum sampai telapak sepatunya menyentuh permukaan tangga, ia berhenti ketika merasakan suatu getaran pada saku celana yang dikenakannya. Ha-eun lantas merogohnya, mengambil benda tersebut lalu mengeceknya.

Hingga kedua bola matanya terpaku, ia terdiam membatu menatap lekat layar Handphone tersebut. Di sana, tertera nama 'Ayah' tengah menelponnya. Semakin lama, getaran tersebut semakin terasa bersamaan dengan genggaman tangannya yang kian mengerat.

Tanpa pikir panjang, jari jempol Ha-eun tergerak untuk menggeser tombol berwarna hijau tersebut dan menempelkannya pada telinga "Halo?" Ucapnya tanpa ekspresi.

"Ha-eun, apa kabar mu nak?! kau baik?!" tanya sang ayah terdengar antusias."Aku dengar kau sudah pulang hari ini," sambungnya.

Mendengarnya, membuat Ha-eun menghela nafasnya lelah, lalu membuang muka sekilas. "Tidak perlu bertele-tele," jawabnya. "Berapa yang kau butuhkan? akan ku kirimkan ke nomor rekening mu setelah ini," dinginnya.

Tak ada sahutan dari seberang sana. Sampai kemudian terdengar helaan nafas. "1 Juta Won." Sudah dapat ia duga.

Ayahnya menghubunginya bukanlah betulan untuk menanyakan kabarnya yang telah kembali dari suatu tempat seperti yang seorang ayah lakukan pada umumnya. Namun tak lain dan tak bukan hanyalah untuk meminta uang dan uang. Bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, melainkan hanya untuk mabuk-mabukkan dan berjudi.

Sudah beberapa tahun lamanya kebiasaan tersebut dilakukannya setelah perceraian yang menimpa ayah dan ibunya. Apalagi ditambah dengan kabar meninggalnya sang ibu, membuatnya semakin terpukul.

"Baiklah." Menarik kembali tangannya, ia lantas segera menutup telepon tersebut secara sepihak dan kembali melangkahkan kakinya menaiki anak tangga.

Ia lelah...


--°HEART_BREAK°--

Taeyong mendudukkan tubuhnya di sofa empuk ruang utama setelah memasuki pintu apartemen.

Dengan senyuman lebar yang sedari tadi mengembang di kedua sudut bibirnya. Ia lantas mengangkat kedua lengannya lalu ia lipat di belakang kepala, sehingga menjadi tumpuan antara punggung sofa dan kepala belakangnya.

"Boleh aku meminta tolong?"

"Apa itu?"

"Berhenti memanggil ku Nona..."

"AISHH...." Teyong mengacak rambutnya kasar. Bibirnya mengulum menahan senyum yang sedari tadi ia coba tahan sejak di dalam taksi.

Entahlah... Cukup sepele memang. Taeyong sendiri tidak tahu mengapa ia jadi segila ini, namun yang jelas ia sangat senang. Hatinya sudah berdebar sejak tadi ia mendapat kesempatan untuk mengantar Ha-eun pulang, namun kian semakin kencang setelah Ha-eun memohon padanya untuk berhenti memanggilnya Nona dan menyuruhnya untuk memanggil dengan embel-embel nama saja.

Heartbreak | Lee TaeyongWhere stories live. Discover now