Heartbreak 15

92 68 11
                                    

Hayoloh, aku udh update setelah sekian lama writersblock. Sampe bela²in baca ulang ceritanya dari awal karena lupa alur 😭 so, Vote + komen juseyoooo 🙏🏻
gratis kok tinggal pencet doang nggak bayar 🥺

Terlebih buat kalian para silent readers, apa kalian tega menyiksa ku yang rela begadang demi nulis bab ini? Ini tepat jam 2 dini hari waktu aku publish chapter ini. Nggak tenang, takut gabisa tidur nyenyak soalnya ditagih update mulu 😭 wkwkwk 😂

Dahlah, happy reading 🥰
_____________________________

Setelah kejadian itu, Taeyong menyadari bahwa ada jarak yang begitu kentara di antara keduanya. Ha-eun semakin menghindarinya selama dua hari ini. Meski berulang kali ia mencoba berinteraksi, Taeyong tahu bahwa tanggapan yang diberikannya tak lain dan tak bukan hanyalah supaya tidak mengundang kejanggalan dan rasa curiga dari para rekan kerja. Bahkan ketika ia mencoba mencuri pandang ke mejanya, wanita itu tak pernah melihat ke arahnya sedikitpun. Seolah keberadaannya bukanlah hal yang penting.

"Biar aku saja." Ia berniat membantu kala perempuan itu hendak berjalan menuju menis fotokopi di ujung ruangan. Tapi yang ia dapatkan setelahnya lagi-lagi hanyalah penolakan halus.

"Tidak perlu, aku bisa sendiri," ucapnya, lantas berlalu melewatinya begitu saja. Selalu seperti itu.

Tak dapat dipungkiri, Taeyong sedikit banyak merasa menyesal. Andai kata waktu itu ia tak memberikan pengakuan, apakah hubungan mereka tidak akan jadi serumit ini? jadi di malam itu, alih-alih pulang ke Apartemen, ia memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya. Dengan harapan, setidaknya kepulangannya kali ini mampu menjadi penenang pikiran yang tengah ia hadapi.

"Kau masih ingat rumah rupanya." Namun naas, setibanya di Dapur, ia justru menjumpai ibunya yang menyindirnya habis-habisan. Maklum, Taeyong sadar kalau kepulangannya ke rumah bisa dihitung jari.

"Ah, kau rupanya, Tae," sapa Ayahya, kala baru saja berbalik dan menemukannya di ambang pintu. "Kemari dan duduklah, ibumu memasak makanan enak." Lalu hanya dengan begitu, ia menurut. Berjalan mendekat dan mendudukkan diri tepat di samping sang Ayah. "Bagaimana dengan pekerjaanmu?"

Taeyong mengangguk singkat. "Baik, Ayah. Bagaimana dengan perusahaan Ayah?"

"Baik-baik saja. Semuanya berjalan baik. Dan pasti akan jauh lebih baik ketika kau yang mengambil alih nanti." Ayahnya terkekeh. Mendengar itu, Taeyong hanya tersenyum.

"Di mana Mark?" tanyanya kemudian.

"Entahlah, dia bilang akan menemui teman bandnya tadi."

"Ah, begitu."

Percakapan mereka berakhir ketika ibunya mendekat ke arah meja makan dan menaruh berbagai hidangan di atas meja, kemudian ikut mendudukkan diri di seberang sana. Padahal Taeyong tak memberitahu kalau akan pulang malam ini, tapi yang tersaji di hadapannya kini seolah menandakan bahwa ibunya paham kalau putra pertamanya akan datang. Ya, naluri seorang ibu begitu hebat.

"Ibu, aku akan menginap," ucapnya kemudian, yang lantas diangguki oleh sang Ibu.

"Tapi bersihkan dulu kamarmu. Ibu tidak pernah lagi membersihkannya karena kau pergi ke Amerika waktu itu, dan tidak akan pernah menginap lagi."

Taeyong menghela napas beratnya. "Ibu tega sekali, aku lelah. Aku baru saja pulang kerja."

"Maka dari itu menikahlah!"

Sontak, Taeyong menatapnya protes. "Kenapa malah menyuruhku menikah?"

"Supaya ada yang mengurusmu. Lihat Ayahmu, sepulang dari Kantor dia bisa langsung makan enak karena ada Ibu yang memasakkannya." Mendengar itu, Ayahnya terkekeh.

Heartbreak | Lee TaeyongOù les histoires vivent. Découvrez maintenant