🌼 TW chapter 12

121K 14.8K 899
                                    

Typo? Silahkan berkomentar!
Vote dan komen di setiap chapter ya guys

Enjoy!!
↓↓↓↓

Davero memilih memakai motornya untuk pergi ke rumah Reina. Ia sangat panik mendengar Reina bilang kalau Davin badannya panas. Dari kemarin ia tidak bertemu putranya. Dan itu menambah kekhawatirannya.

Davero segera memasukkan motornya ke pelataran rumah Reina. Ia tidak perlu berteriak atau apapun karena pagar rumah Reina tidak di kunci. Dan lebih parahnya lagi pintu rumahnya juga tidak di kunci.

"Rei!" panggil Davero sedikit berteriak.

"Diatas!" jawab Reina ikut berteriak.

Davero berjalan menuju lantai dua. Ia mencari sumber tangisan yang di dengarnya. Sampai ia berada di depan salah satu pintu kamar.

Tanpa aba-aba Davero langsung membukanya. Ia melihat Reina sedang menggendong Davin sembari menggumamkan kata-kata untuk menenangkan Davin. Tak lupa tangan yang terus mengelus surai hitam Davin.

"Papa," Davin terus ngucapkan itu dalam pelukan Reina.

"Cup cup cup Papa disini sayang," ucap Davero mengambil alih gendongan Reina.

Ia mengelus punggung dan kepala Davin.

"Hiks hiks Papa," Davin mengeratkan pelukannya pada Davero tanpa membuka matanya. Davero dapat merasakan suhu panas Davin saat kulit Davin menyentuh ceruk lehernya.

"Daddy's here baby," bisik Davero dengan terus menimang Davin.

"Coba telpon dokter," ucap Davero pada Reina.

Reina mengangguk lalu menghubungi dokter pribadinya.

Reina menutup teleponnya lalu menatap Davin dengan penuh kekhawatiran. Dia belum pernah merasakan situasi seperti ini sebelumnya.

Saat dia tidak enak badan, menggerakkan badan pun rasanya sakit. Sangat tidak nyaman. Apalagi hal itu di alami anak-anak.

Reina mendekat ke arah Davero, ia menyeka air mata Davin dengan lembut.

Davero dapat melihat Reina sangat khawatir dengan Davin.

Tanpa aba-aba Davero menarik Reina ke dalam pelukannya. Dan sekarang posisi mereka adalah Davero memeluk Reina dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya ia gunakan untuk menggendong Davin.

"Davin nggak papa, ada gue disini," ucap Davero mengusap kepala Reina. Berniat untuk menenangkan Reina.

Reina mematung dalam dekapan Davero. Ia bingung harus apa. Perlahan ia memejamkan matanya. Ia merasakan kenyamanan yang belum pernah ia rasakan.

Reina merapalkan kata-kata dalam hatinya agar ia tenang. Bukan hanya tenang dari kekhawatirannya pada Davin tapi juga memenangkan jantungnya yang kini berdegup kencang.

Setelah itu ia menghembuskan nafas dan menarik diri dari dekapan Davero.

Reina menatap Davero sebentar, "Gue jemput dokternya dulu ke bawah," pamitnya.

Davero mengangguk sebagai jawabannya.

Tak lama setelah itu Reina kembali ke kamarnya diikuti seorang dokter perempuan. Davero membaringkan Davin ke ranjang Reina.

Dokter perempuan itu memeriksa Davin, dokter Ana.

"Gimana dok?" tanya Reina saat dokter Ana selesai memeriksa Davin.

"Anak ini demam dan gejala flu. Tapi dia nggak papa. Nanti tolong tidurnya di temenin ya soalnya biasanya kalau anak demam lebih sering kebangun karena mimpi buruk," ucap dokter menjelaskan

"Ini saya buatin resep obatnya, bisa kamu tebus ke apotek," lanjut dokter Ana sembari menyerahkan secarik kertas pada Reina.

Reina menerimanya lalu mengangguk. Ia mengantarkan dokter Ana kembali ke depan.

"Siapa Na?" tanya dokter Ana. Dokter Ana adalah dokter pribadinya. Dokter sekaligus psikolog yang di percayai Eyangnya untuk merawat Reina saat Reina sakit.

"Siapa? Yang mana?" bukannya menjawab Reina malah balik bertanya.

"Itu tadi orang dua," jawab dokter Ana.

"Eum- ceritanya panjang," jawab Reina. Ia bingung harus menjelaskannya dari mana.

Tapi tak urung ia menceritakan sedikit pertemuannya dengan Davin dan Davero.

"Saya beberapa kali menemukan kasus yang mirip seperti itu. Entah apa yang ada di pikiran orang tuanya,"

Reina menyimak apa yang dikatakan dokter Ana.

"Bagus deh kalo kamu mau rawat dia," ucap dokter Ana berhenti sejenak di depan pintu.

"Anak kaya gitu kalau kamu taruh di panti asuhan bakal punya trauma yang dalam. Dia udah punya trauma yang dalam saat orang tua kandungnya membuangnya dan akan bertambah dalam saat orang yang baru dia temui juga tidak menerimanya."

"Tapi kamu harus jaga kesehatan juga, saya pulang dulu. Nanti kalau ada apa-apa sama Davin hubungin saya." ucap dokter Ana.

Reina mengangguk, "Makasih ya dok, maaf udah ngerepotin," ucap Reina sembari tersenyum.

Ia menunggu sampai mobil dokter Ana keluar lalu menutup pagarnya kembali.

Setelah itu Reina kembali ke kamarnya. Melihat Davero mengusap-usap kepala Davin yang mulai tertidur.

"Udah?" tanya Davero bangkit dari ranjang Reina. Reina mengangguk.

"Mana tadi kertasnya? Biar gue tebus ke apotek," ujar Davero.

Reina memberikan resep obat itu ke Davero.

"Beliin hansaplast kompres sekalian," pesan Reina.

"Iya," jawab Davero.

Sesaat setelah Davero pergi, Reina mendekat ke arah Davin.

"Maafin Mama sayang," ucap Reina lalu mengecup dahi Davin.

Setelah itu ia membereskan kertas-kertas yang ada di meja kerjanya. Sepertinya ia tadi terlalu fokus bekerja sampai mengabaikan Davin.

Ia mendudukkan diri di kursi setelah membereskan semua kertasnya. Ia mengambil sebuah foto di sudut mejanya.

"Ayah Bunda, Reina bingung sama perasaan Reina sendiri. Pelukan Davero beda dari pelukan Bunda dulu. Apa mungkin kalo aku bisa ngerasain pelukan Ayah, pelukan Ayah sama kaya Davero tadi?" monolog Reina dengan foto yang ada di tangannya.

"Satu lagi, Ayah sama Bunda nggak marah kan kalau Davin manggil kalian kakek sama nenek?" tentu saja tidak ada jawaban yang diterima Reina.

Reina tersenyum, "Reina sayang kalian," ucapnya lalu mengembalikan foto itu kembali ke tempat semula.

◜‿◝
To Be Continue

Update yuhuu <3
Jangan lupa jejaknya biar aku semangattt
.
.
.
.
mrs.lee❤️

THE WAY [END]Where stories live. Discover now