22

168 25 2
                                    

Dua sepasang kini bertemu. Tak ada tawa, tak ada canda. Hanya ada kelu dan pilu yang terselubung dalam kalbu.

🍫🍫🍫

Jinhyuk merapatkan mantel yang dikenakannya. Air conditioner yang terpasang di mobil Wooseok tiba-tiba begitu terasa dingin.

Sepertinya dingin atmosfer di antara dua anak manusia itu juga memengaruhi suhu ruangan.

"Seok, rumah Sejin jauh, nggak?"

Jinhyuk tidak ada tujuan apa-apa, sih, sebenarnya bertanya begitu. Hanya untuk basa-basi. Memecah batu es keheningan yang menyelimuti mereka berdua.

"Lumayan, sih. Mungkin sekitar setengah jam lagi. Kalau mau tidur, tidur aja nggak papa, kok," balas Wooseok.

'Mana mungkin, sih, ada orang yang bisa tidur di saat seperti ini, Wooseok aneh?' batin Jinhyuk.

🍫🍫🍫

Seungyoun berulang kali mengarahkan bola matanya ke ruang tamu, Byungchan --pria manis berlesung pipi yang ia belum tahu jelas siapa-- tiba-tiba saja datang dan ingin bertemu Seungwoo.

Di sanalah mereka. Duduk bersebrangan di ruang tamu apartemen Seungwoo.

"Ada apa, Chan?" Seungwoo membuka pembicaraan.

Pria yang duduk di hadapannya inilah yang pergi meninggalkan sebuah kata. Bosan. Menciptakan luka menganga di hati Seungwoo. Menyisakan perih yang bahkan sampai detik ini masih dapat dirasakannya.

Hebatnya Seungwoo tak pernah benar-benar benci. Bahkan perasaan benar-benar marah pun tak pernah ia rasakan. Hanya emosi sesaat ketika pria berlesung pipi di hadapannya mengatakan bosan, lalu semuanya seolah menguap hilang entah kemana.

Pada faktanya Seungwoo benar-benar mencintai Byungchan. Sedalam itu perasaannya yang telah diobrak-abrik Byungchan dengan tega.

"Hyung.... M-maaf...," Byungchan menundukkan kepalanya. Menelan ludah berkali-kali guna membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba terasa seperti gurun.

"Maaf? Waeyo? Maaf kenapa?"

"A-aku nggak bisa berhenti. Aku nggak bisa berhentiin semuanya, Hyung. Aku cinta sama Hyung. Aku nggak bisa nyerah sama perasaan ini...," Byungchan menarik napasnya perlahan, "Aku berusaha buat lepas dari Hyung, dari perasaan aku, dari kenangan yang pernah kita buat berdua. Tapi aku nggak bisa."

Seungwoo mendengarkan dalam hening. Otaknya seperti berhenti bekerja. Apa yang terjadi? Kenapa jadi begini? Bagaimana ceritanya? Semua kalimat tanya ingin ia lontarkan kepada lelaki di hadapannya itu.

"Hyung tahu?" entah mendapat sihir dari mana, Byungchan mengangkat kepalanya dan binarnya melesat jauh ke dalam netra Seungwoo, mengunci pandangan serta seluruh atensi yang Seungwoo miliki padanya.

"Aku nggak pernah bosan. Aku nggak pernah benar-benar bosan sama Hyung. Aku selalu, selalu, selalu sayang sama Hyung."

Seungwoo tidak bodoh untuk mengingat kejadian yang bahkan belum genap setengah tahun terjadi.

"Nggak bosan?" tanya Seungwoo. Lebih seperti sanggahan, sih, kedengarannya. "Kamu sendiri, Chan, yang bilang kamu bosan sama Hyung. Sekarang apalagi?"

Seungwoo memang kenyataannya tak bisa membenci Byungchan. Tetapi akal sehatnya sedikit menang kali ini. Bagaimana bisa Byungchan bilang ia tidak bosan sedangkan dahulu ia yang meminta putus pada Seungwoo dengan alasan itu?

"Orang tua aku. Itu karena orang tua aku, Hyung. Mereka nggak merestui hubungan kita. Aku nggak pernah bosan sama Hyung. I swear."

"Kamu bohong. Dulu kamu memang bosan, kan, sama Hyung? Sekarang apa? Kenapa kamu balik lagi dengan alasan orang tua kamu nggak ngerestuin? Kamu butuh apa, Chan? Kamu butuh apalagi dari Hyung?!" Seungwoo tanpa sadar meninggikan nada suaranya.

"Kalau aku bohong aku nggak akan repot-repot ke sini untuk nemuin hyung lagi!" bentak Byungchan. Air matanya jatuh. Mengalir membuat aliran kecil di pipinya.

Seungyoun yang semula tidak mendengar apa-apa, kini tersontak. Apa, sih, yang mereka bicarakan sampai harus berteriak seperti itu? Kan, tidak baik juga kalau didengar tetangga apartemen.

"Kenapa? Kenapa kamu nggak bilang dari awal? Kenapa kamu nggak jujur dari awal, Choi Byungchan? Kenapa kamu nggak jujur sama Hyung, kenapa?!"

"KARENA AKU SAYANG HYUNG!" teriak Byungchan. Tanpa hiperbola, bahkan tetangga sebelah apartemen Seungwoo pasti akan mendengarnya.

"Aku nggak mau Hyung dateng ke rumah aku, minta pengertian orang tuaku, minta izin tentang hubungan kita ke mereka. Karena aku tahu, pada akhirnya semua nggak ada hasilnya, Hyung. Kamu cuma akan dicaci maki. Aku nggak mau, hiks..., aku nggak mau kamu disakitin orang, apalagi orang tuaku sendiri," tangis Byungchan pecah, "Waktu itu, aku cuma mau Hyung pergi, cari orang lain yang bisa bikin kehidupan Hyung lebih mudah. Nggak perlu sesulit berhubungan sama aku. Tapi ternyata aku salah. Aku yang nggak bisa hidup tanpa Hyung."

Bahkan orang awam pun, jika melihat tangis Byungchan saat ini, mereka akan kelewat yakin bahwa beban yang kini dipikul di pundak Byungchan sangatlah besar. Tangisnya yang berat dan sedikit tertahan, membuatnya terlihat seperti seseorang yang tak lagi kuat menahan dera batin yang terus mengikis pertahanannya.

Seungwoo bisa apa? Bahkan masih. Melihat Byungchan menangis pun, masih saja dia tak kuat. Mendengar alasan yang Byungchan utarakan --ia begitu merasakan betapa Byungchan ingin melindungi perasaannya-- masih saja dapat tumbuh kembali kepercayaannya pada laki-laki berlesung pipi itu. Perasaannya pada Byungchan yang semula meredup, masih saja dapat bersinar kembali menyadari semua kejadian hari ini.

Masih, masih, dan masih. Semua masih bisa terjadi. Semua masih bisa kembali.

Yang bengisnya tak Seungwoo sadari, di balik semua kata masih yang bisa ia tawarkan untuk Byungchan, bagaimana dengan benih perasaan yang selama ini ia tumbuhkan untuk Seungyoun, pria yang hampir menjadi kesayangannya?

Seungwoo, bukankah kau terlalu keji untuk ini?

🍫🍫🍫

Heyyo!
Apa kabarr kaliann? Stay safee yaa, pandeminya semakin meluas, semoga kalian semua sehat-sehat selalu❤

Mumpung otakku lagi lancar aku lanjutin terus nii biar konfliknya ga ngegantung lamaa!

Anw maaf ya kalo ada yg tata bahasanya aneh aku lagi rada pusing soalnya, ngeblank otaknya😭

Semoga suka yaa
See you!💜

Always In My SideWhere stories live. Discover now