seribu kata - short story

9 1 0
                                    

Dia bilang, salah satu permohonanmu akan terwujud kalau kau menuliskan seribu kata berisikan impianmu.

Kalau dipikir-pikir aku tidak pernah dapat menuliskan impianku dengan benar. Lalu sekarang seribu kata? Omong kosong. Tidak akan ada keajaiban kalau aku memikirkannya kecuali keram otak dan sakit badan. Aku lelah dengan kata mimpi.

Tapi ibu selalu memandangku sebagai anak gadisnya yang penuh mimpi.

Bagaimanapun remaja seusiaku akan sangat bersemangat memikirkan rancangan masa depan, tapi aku lebih memikirkan semoga tugas sekolahku tidak terlalu banyak. Aku menghabiskan waktu sebagian besar untuk ... mendapatkan uang.

Kondisi ekonomi itu benar-benar membuatku tanpa sadar memundurkan impianku jauh-jauh. Percuma. Sesak saja rasanya melihat keindahan itu hanya terpampang dalam benak. Aku tahu betul kakiku sudah terbelenggu dan tidak akan ada kesempatan untuk melangkahkannya.

Ibuku sudah meninggal setahun lalu, ayahku susah melunasi hutangnya, dan abangku ... aku tidak tahu dia masih hidup atau tidak.

Adikku juga menjadi sangat murung akhir-akhir ini.

Kerjaanku yaitu membuat pesanan kue orang-orang. Bakat yang kuwarisi dari ibu, membuat aneka ragam kue.

Membuatnya benar-benar tidak sebentar. Waktu untuk sekolahku sangat ghaib sampai nilaiku rata-rata kosong.

Bisa-bisa aku tidak sekolah lagi. Aku memang sedang memutuskan soal itu, sih. Bekerja full-time untuk pesanan mungkin akan lebih baik. Fokusku tidak terbelah dan kacau balau begini. Aku tidak mau merepotkan teman-temanku lebih lama. Tapi apa benar akan lebih baik begitu? Aku sudah lupa rasa senangnya belajar di sekolah.

Menjadi dewasa sebelum waktunya? Tentu saja tidak. Aku masih sangat kekanak-kanakan. Aku kadang menangis dan tidak pernah menerima kenyataan kalau aku sudah dewasa.

Anehnya hari-hari yang menyusahkan itu bisa kulewati. Dengan perasaan mau mati tentunya.

Perasaan? Itu hanya perasaan terbebani. Sebenarnya banyak yang kukhawatirkan. Apakah adikku baik-baik saja dengan sekolahnya? Apakah kuliah abangku di kota seberang berjalan lancar? Dia memang agak nakal, tapi otaknya bergerak lebih baik daripada punyaku. Mungkin dia juga sudah mengumpulkan uang ... kuharap dia pulang menengok kami sesekali.

Ayahku ... sangat jarang ada di rumah.

Jadi suasana di rumah hanya aku yang sibuk dengan dapur, dan adikku yang semakin pendiam.

Aku sungguhan cemas padanya. Tapi aku merasa tidak dalam posisi bisa menghibur siapa-siapa. Aku masih saja egois dan berpikir akulah satu-satunya disini yang butuh dihibur!

Di saat merenung karena lelah begini, aku suka teringat ucapan ibu yang menyuruh kami melakukan hal apapun yang kami inginkan saat dewasa nanti. Kalau begitu ... aku ingin keluargaku baik-baik saja.

Aku ingin bilang padanya, bahwa aku hanya ingin semuanya kembali seperti biasa. Rutinitasku, sarapan dan makan malam bersama. Adikku yang selalu tertawa.

Kehangatan itu, aku menginginkannya.

Menghela napas untuk kesekian kalinya, aku menyerah. Teringat kalau aku kekurangan mentega. Sudah lama juga tidak berbelanja.

***

Bertemu dengan orang-orang sangatlah merepotkan. Kalau bisa aku ingin transparan saja saat bertransaksi atau ada keperluan dengan siapapun. Aku enggan menampakkan diri.

Saat selesai dengan semua belanjaanku, di pintu keluar aku berpapasan dengan wajah yang sangat kukenal. Ah, sudah lama tidak lihat wajah seramnya.

Sepertinya dia menyadariku juga. Orang ini jarang tersenyum, bicara pun irit-irit. Tapi tadi dia benar-benar berkata, "tolong tunggu aku sebentar."

Don't Come HereWhere stories live. Discover now