05. Drey

5K 1.1K 50
                                    

“I hope you catch me when I land

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

“I hope you catch me when I land. I think I’m in love again. Uh yea... I think I’m in love again!”

Suara Kat Dahlia yang menjadi nada dering khusus untuk Faye membangunkan Drey dari tidur. Bukannya segera menjawab panggilan pacarnya, pemuda itu meneguk saliva dengan kasar saat melihat jam berbentuk gitar yang menempel di dinding kamar menunjukkan pukul enam lebih sepuluh menit. Secepat kilat ia mandi supaya tak terlambat sekolah. Pemilik nama lahir Andreas Salim tersebut tidak ingin kena masalah hanya gara-gara mabar sampai dini hari.

Hari ini Drey merasa wajib datang ke sekolah lantaran membutuhkan perbaikan nilai untuk kelas Bahasa Spanyol. Selain itu ia harus mengumpulkan salinan pendaftaran mengikuti program One Fine Day yang tak bosan diingatkan ibunya sejak dua hari lalu.

Kalau boleh jujur, sebenarnya Drey kurang begitu tertarik mengikuti program berisi siswa siswi ambisius se-Araminta itu. Tahun lalu ia bahkan melewatkannya bertepatan dengan turnamen Esports memperebutkan piala presiden yang diikuti. Tapi ibunya sangat memaksa untuk tahun ini. Bagi Arabella Salim, meski pada akhirnya tidak masuk lima besar, orang-orang akan melihat sang putra telah berjuang mati-matian di sana. Fakta itu penting untuk diketahui.

Setelah merasa tidak ada yang tertinggal, Drey segera melajukan motornya menembus jalanan. Tak sampai 20 menit, pemuda itu sudah berhenti di pelataran parkir sekolah. Baru saja membuka helm, Faye menelepon. Pemuda itu langsung memasang airpods di kedua lubang telinga dan buru-buru menjawab panggilan apabila tak ingin didiamkan selama beberapa hari.

“Kenapa tadi nggak diangkat sih?” sembur Faye dari seberang sana.

“Ya ampun kamu ini kebiasaan deh suka nggak ada basa-basinya dulu. Maaf ya tadi tuh aku kesiangan, jadi langsung siap-siap,” balas Drey sambil berjalan menuju ruang tata usaha.

“Oh, gitu, jadi aku bukan prioritas utama? Padahal kan tetap bisa sambil teleponan!” Faye tak terima dengan alasan Drey.

“Iya maaf, kamu tetep prioritas kok. Tadi tuh aku beneran nggak fokus. Jangan marah-marah dong. Nanti cantiknya pergi lho,” Drey berusaha menenangkan Faye dengan memuji. Ia tahu bagaimana meluluhkan hati pacarnya itu supaya tidak berlarut-larut marah.

“Ih, gombal mulu...” suara Faye melunak.

Mendengar intonasi yang tadinya penuh amarah itu berubah, membuat Drey tersenyum karena triknya berhasil. “Siapa yang gombal sih? Emang beneran kok pacar aku cantik. Coba aja ngaca sekarang, pasti kelihatan betapa cantiknya Faika-ku,” Drey melanjutkan aksinya. Ia tahu pipi Faye di sana pasti sudah bersemu semerah tomat.

“Kena diabetes nih aku lama-lama digombalin mulu. Udah ah, pokoknya nanti aku mau ketemu.” Pinta Faye.

Langkah kaki terbalut sneakers itu terhenti di ruang tata usaha. Saat berada di depan meja petugas, Drey membuka risleting tas guna mengambil map cokelat dengan lambang sekolah. Betapa terkejutnya ia saat menyadari benda itu tidak ada di dalam sana. “Shit!” umpatnya refleks.

Umpatan itu tentu didengar oleh Faye mengingat telepon mereka masih terhubung. “Kok kamu ngomong gitu, sih?”

“Maaf, bukan buat kamu. Aku lupa bawa salinan buat daftar One Fine Day. Mama bisa ngamuk nih,” jelas Drey setelah mundur dari meja petugas dan gerak cepat menuju ke lantai dua.

“Kamu semalam ngapain aja sih sampai bisa kesiangan?”

Drey tidak siap mendengar pertanyaan itu. Karena jawabannya akan membuat Faye lebih marah lagi. Gadis itu sudah berkali-kali mengingatkan untuk tidak menyentuh Free Fire sampai lupa waktu di hari sekolah.

“Kok diem?” Faye bertanya dengan intonasi yang kembali meninggi.

“Beb, aku tutup dulu ya, nanti kita teleponan lagi. Dah. Aku cinta kamu.” Drey memutus sambungan tanpa perlu mendengar balasan ‘Aku juga cinta kamu’ dari sang kekasih. Ada hal lebih penting yang harus dirinya lakukan saat ini yaitu memberitahu Arabella. Pemuda itu tidak bisa main pulang begitu saja karena remedial bahasa Spanyol ada di jam pelajaran pertama. Pekerja harian di rumahnya juga pasti belum datang untuk diminta mengantar. Maka cara satu-satunya adalah memohon tolong pada ibunya yang adalah vice principal Araminta International School. Siapa tahu bisa ada keringanan.

Drey sampai di depan ruang kerja ibunya yang terletak di pojok kanan lantai dua gedung utama. Udara di sana sedikit pengap dengan pencahayaan temaram menimbulkan kesan lain yang tak bisa dijelaskan. Jika tak ada keperluan mendesak seperti sekarang, Drey tak yakin mau menginjakkan kaki di sana.

Setelah megembuskan napas untuk memberi efek relaks, Drey mengetuk pintu ruangan Arabella tiga kali. Begitu terdengar perintah untuk masuk, pemuda itu membuka pintu yang disambut sorot tajam dari wanita berpotongan rambut pendek seleher tersebut.

“Ada perlu apa, Drey?” tanya Arabella.

“Map salinan pendaftaran One Fine Day ketinggalan Ma,” jawab Drey sambil menundukkan kepala.

BRAK!

Arabella melempar sebuah buku tebal ke arah dinding. Bunyi benturan buku pada dinding cukup keras sampai membuat Drey berjengit kaget.

“M-maaf, Ma, Drey t-teledor,” kata Drey terbata-bata. Keringat tampak menetes di pelipisnya. Ia tahu kesalahan besar adalah membuat Arabella marah.

“Kamu tahu apa kata orang kalau anak Arabella Salim sampai tidak ikut program itu?!” Arabella memberikan pertanyaan retoris.

“Iya, Ma, maaf.”

“Pulang dan ambil!” Perintah Arabella tegas dengan setiap suku kata penuh penekanan.

“Ma, tapi aku ada remed——”

“Masih berpikir Mama kasih izin kuliah di Madrid kalau hal kayak gini saja nggak becus kamu tangani, heh?!” potong Arabella emosi.

Drey tak bisa berkata apa-apa lagi. Arabella sedang dalam kondisi tak bisa dibantah. Apalagi wanita itu sudah mengingatkan sejak jauh hari bahwa pengumpulan salinan pendaftaran hanya berlangsung satu hari sampai jam pertama selesai.

“Pulang dan ambil, Drey.” Ulang Arabella dengan suara pelan yang membuat bulu kuduk Drey seketika meremang. Tanpa banyak bicara, pemuda itu segera meninggalkan ruang kerja ibunya dan berlari menuju parkiran.

Tersisa sepuluh menit sebelum bel masuk berbunyi. Drey tahu sudah tidak ada harapan lagi untuk ikut remedial. Namun ia berpikir positif. Semoga nanti tetap diberi kesempatan mengulang meski telat masuk kelas. Hal ini harus ia hadapi karena sudah menjadi konsekuensi atas kesalahan yang diperbuat. Melanjutkan pendidikan di Madrid adalah mimpinya. Janji yang harus ia penuhi karena itu juga mimpi mendiang ayahnya.

“Kamu mau kuliah di mana setelah lulus SMA, Nak?” tanya Nikolas Salim saat Drey yang berusia 15 tahun menemaninya di kamar rumah sakit.

“Drey pengen kuliah di tempat Papa ketemu Mama. Drey pengen Papa sembuh biar nanti kita bertiga bisa foto di depan gedung Universitas Complutense saat wisuda,” jawab Drey dengan mata berbinar penuh harap.

“Bagus, Nak, kamu pasti bisa,” Nikolas mengatakan itu sambil mengacak-acak rambut Drey.

Sayangnya jawaban itu terempas setelah beberapa hari kemudian Nikolas mengembuskan napas terakhir akibat gagal ginjal. Namun, Drey masih membawa jawabannya sampai kapan pun selama ia bernapas. Ia harus bisa menginjakkan kaki di universitas tertua di dunia tersebut. []

Bersambung....

_____

Selamat berkenalan dengan karakter Drey. Masih banyak hal akan diungkap olehnya. So, jangan ke mana-mana. Jangan lupa bagikan jejak berupa votes, reaksi, kritik dan saran! 🤟🏻

INTRICATEWhere stories live. Discover now