EPILOG

17.9K 1.5K 92
                                    

"Pangeran, jangan berlari!"

Pangeran kecil itu mendengar tapi tidak melakukan apa yang diperintahkan. Ia tetap saja berlari dengan semangat sambil tertawa-tawa bahagia tanpa perduli dengan para pelayan dibelakangnya kewalahan untuk mengejar.

Ia adalah pangeran Sungchan, putra pertama dari Raja Mark dan Ratu Haechan, yang sekarang menginjak usia enam tahun.

Pangeran kecil itu amat lincah, larinya cepat dan selalu mempunyai cara untuk membalas perkataan lawan bicaranya. Kalian tentu saja tau darimana kemampuan itu berasal, kan?

Dan alasan pangeran Sungchan berlari cepat seperti itu karena ia ingin segera menemui ibu dan adiknya. Pelayannya baru saja memberi tau kalau adik kecil di perut ibunya sudah lahir ke dunia. Ia tidak sabar untuk bertemu.

Brak!

"Pangeran, apa yang kami ajarkan tentang sopan santun?"

Pangeran Sungchan sedikit meringis melihat wajah ayahnya yang terlihat menyeramkan. Ia memang salah, karena terlalu semangat ia sampai bertindak tidak sopan seperti itu.

"Maafkan aku, ayah... Aku tidak sabar untuk melihat adik."

"Kemarilah, adikmu sedang tertidur."

Dengan semangat pangeran Sungchan berlari kearah Raja Mark, membiarkan tubuhnya diangkat dan didekatkan ke arah box bayi milik adiknya.

Adiknya yang sedang menutup mata itu sangat kecil. Kulitnya putih dan hidungnya mungil sekali. Ia sangat manis, seperti ibunya. Itu yang ada di pikiran pangeran Sungchan.

"Dia kecil sekali, ayah. Boleh aku menciumnya?"

"Tidak untuk sekarang, pangeran. Ia sedang tertidur dan kemungkinan akan terbangun jika kau menciumnya. Ibumu juga akan ikut terbangun, ia baru saja tertidur."

"Saat ia bangun aku boleh menciumnya?"

"Tentu."

Raja Mark memberikan kecupan lembut di pucuk kepala anaknya. Pangeran Sungchan, meski wajahnya tidak mirip dengan Haechan, tapi sifat Haechan menurun semua kepada anak sulungnya ini.

"Ayah?"

"Ada apa?"

"Siapa nama adikku?"

Nama ya? Raja Mark dan Haechan sudah sepakat dengan sebuah nama untuk putra ke dua mereka. Keduanya sempat sedikit berdebat sebelum akhirnya mencapai kesepakatan bersama.

"Kau ingin tau?"

"Tentu saja! Dia adikku, ayah."

"Namanya Alula, Alula Chenle Ludra."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Tiga orang sahabat dengan satu anak balita tengah berbincang dengan sangat menyenangkan. Meski begitu mata mereka tetap mengawasi tiga pasang mata yang kini tengah menatap ke arah box bayi tempat Chenle berada.

Tiga pasang mata itu menatap dengan raut yang berbeda-beda. Yang paling tua menatap bayi Chenle dengan senyum manis dan mata berbinar, anak kedua menatap adiknya dengan kagum dan semangat seolah ia sedang memperhatikan salah satu keajaiban dunia. Sedangkan yang paling kecil menatap bayi itu dengan tajam namun tersirat rasa penasaran dari tatapan mata itu.

MARK✓Where stories live. Discover now