Bagian 2 - 9 (Perasaan Seorang Ibu)

6 1 0
                                    

Kamu membuka mata. Yang pertama kamu tatap adalah ibumu. Dia menangis tersedu-sedu. Matamu menyisir setiap sudut ruangan. Apakah kamu sudah menyadari bahwa saat ini dirimu sedang berada di rumah sakit? Tangan kirimu diangkat dan terlihat ada sebuah perban melilit di pergelenganmu.

"Aku masih hidup," lirihmu.

"Demi Tuhan, Ibu sudah memaafkan semua kesalahanmu, Nak. Demi Tuhan juga, Ibu tidak akan bisa memaafkan diri Ibu, jika kamu sampai meninggalkan Ibu dengan sengaja."

"Jangan memaafkanku, Bu. Aku tidak pantas Ibu maafkan. Aku seorang kriminal, pembunuh dan ...." Kamu menggantung kalimatmu.

"Ibu tidak akan membahas masalah itu. Ibu ingin kamu kembali seperti Gerald yang Ibu kenal."

"Ibu sudah tahu, bukan, apa yang sudah kulakukan kepada Luella? Aku bukan hanya menyiksanya." Ibumu tidak berbicara. Dia hanya menunduk menangis sambil memegangi tanganmu. "Aku dan David pelakunya, Bu. Hukum aku!"

Ibumu mengusap air matanya. "Ibulah yang harus dihukum, karena Ibu telah gagal. Maafkan Ibu. Ibu gagal menjadi seorang ibu."

Air matamu menetes. "Ibu tidak gagal. Akulah yang brengsek. Aku anak yang tidak berguna dan hanya menjadi beban, mempermalukan dan menjatuhkan harga diri. Aku bagaikan anak titisan setan."

"Gerald, berhenti berbicara omong kosong."

"Mengapa aku tidak mati saja? Mengapa, Bu? Sedangkan sudah tidak ada surga lagi di kakimu."

"Hidup tidak bisa diulang. Jangan biarkan kehidupanmu menjadi sia-sia. Kamu sudah tahu, waktu tidak dapat diputar kembali. Maka perbaikilah semuanya. Ibu akan tetap di sampingmu," ucapnya terdengar tulus.

"Air jernih yang sudah ternodai oleh tinta hitam, akan tetap menjadi hitam. Walaupun diperbaiki untuk diubah kembali, tetap saja tidak akan seperti semula. Sebuah luka akan selalu meninggalkan bekasnya, bukan? Apakah sebuah kesalahan akan begitu mudah untuk dilupakan?" Ibumu terisak tangis. "Sudah cukup dengan kesalahan ini, Bu. Kesalahanku sangat fatal dan mematikan semua rasa."

"Ibu tetap mencintaimu," lirihnya hampir tidak bersuara.

"Mengapa tidak Ibu patahkan rasa cintamu kepadaku?"

"Kasih sayang seorang ibu bagaikan tanah. Walaupun diinjak-injak, dikotori, tidak dihargai, tetapi dia selalu memberi kehidupan, tanpa berharap balasan."

"Semua yang ada di tanah, akan kembali ke tanah pula, Bu."

"Gerald."

Kamu menatapnya lekat. Kemudian ibumu pergi keluar meninggalkanmu. Dia menangis di balik pintu ruanganmu, kemudian terduduk dengan tangisan yang sudah tidak tertahan. Sedangkan dirimu hanya melamun dengan air mata yang terus mengalir di pelipismu.

Jika harus dijabarkan, kasih sayang ibu memanglah tidak terbatas. Seberapa besar kesalahanmu, akan tetap dia maafkan. Namun bagaimana denganmu? Apakah kamu berani memaafkan ibumu, ketika beliau melakukan kesalahan besar? Bahkan, seorang ibu berani merasakan kesakitan yang teramat sakit.

Hati seorang ibu adalah sebuah pintu surga bagi anak-anaknya. Di sanalah sebuah kedamaian dan kebahagiaan abadi tercipta. Jendela kehidupan yang selalu dia pertaruhkan untuk anaknya. Bahkan, hal sekecil apa pun akan menjadi berarti untuk seorang ibu. Sudahkah kamu mengerti, betapa besarnya kasih sayang seorang ibu kepada anaknya? Dijabarkan pun tetap tidak akan terhingga.

Beberapa saat setelah itu, tiba-tiba ada dua orang datang memasuki ruangan. Mereka terlihat seperti sepasang suami-istri. Diikuti dengan tangis dan sorotan penuh amarah di matanya. Itu jelas ketika melihat wajahmu, mereka langsung melakukan kericuhan di rumah sakit.

"Apa yang kamu lakukan terhadap anakku, hah? Apa kesalahannya?"

Rupanya mereka adalah orang tua dari Luella. Dia menangis histeris sambil mengangkat kerah bajumu, lalu memukul tubuhmu tidak beraturan. Mulai dari menampar, sampai memukul acak badanmu. Dia menanyakan pertanyaan yang sama, "Apa kesalahan anakku?". Namun kamu tidak menjawabnya sama sekali.

"Kamu menyiksa anakku begitu kejam. Apakah kamu senang melakukannya? Dia cacat! Kamu malah menjadikannya bahan ejekan, begitu? Apakah salah dia, jika dia cacat, hah?"

Teriakkan itu terdengar sampai keluar ruangan. Ibumu berusaha untuk menenangkan dirinya, tetapi dia malah menangkis, bahkan mendorong ibumu sampai terjatuh. Sang suami pun ikut berusaha pula. Dia menahan tubuh istrinya agar tidak menyakitimu lagi. Dia meminta untuk tetap tenang dan tidak mengutamakan emosi. Dia pun mengungkapkan bahwa dia sama marahnya, sama bencinya, dan sama ingin meminta pertanggungjawaban. Karena ini di rumah sakit, dia harus menghargai aturan di sana.

Mendengar suaminya begitu, sang istri menjadi marah dan menganggap sang suami tidak peduli terhadap kematian anaknya. Ibumu terus memohon ampun kepada mereka. Dia membelamu mati-matian, bahkan dia pun rela menggantikanmu untuk menerima semua hukuman.

"Dia masih sakit, Bu. Tolong jangan pukul anak saya lagi. Pukul saja saya," lirih ibumu.

"Bagaimana dengan anakku, hah? Dia bukan hanya sakit, tetapi dia mati. Dia kehilangan nyawanya karena anakmu!"

"Anak saya khilaf. Mohon bicarakan ini dengan baik, Bu."

"Kamu!" Wanita itu menunjuk wajah ibumu. "Kita sama-sama seorang ibu. Kamu memiliki anak, dan saya pun sama. Kamu bisa merasakan apa yang saya rasakan, karena kita sama-sama seorang ibu. Kamu pasti mengerti, bagaimana sakitnya jikalau anakmu dirundung sampai dia putus asa dan akhirnya memilih bunuh diri. Kamu tahu, 'kan, rasanya?"

Ibu Luella mulai sedikit tenang. Dia berhenti memukulimu dan kini terduduk di lantai meratapi kepergian anaknya.

"Anakku memang bersalah. Dia akan menanggung semua kesalahannya nanti. Percayalah. Aku pun telah dihukum atas kejadian ini," jelas ibumu.

Kamu menangis melihat tangisan dari mereka. Tanganmu mulai meremas pahamu, semakin keras dan keras lagi sampai memperlihatkan urat lenganmu. Ibunya Luella mendekat ke arahmu. Dia menatap wajahmu yang masih mengeluarkan air mata.

"Kamu tahu? Luella pindah sekolah karena kasus ini pernah terjadi di sekolah lamanya, sampai dia diasingkan oleh semua teman sekelasnya. Dan sekarang apa? Saya benar-benar menyesal memindahkannya ke sekolah lain. Saya malah menjerumuskan ke ranah kematian."

"Maafkan saya, Bu. Saya berani menanggung semuanya," ucapmu.

"Kembalikan Luella. Saya mohon! Kembalikan dia."

Kehilangan seseorang yang sangat disayangi memanglah sangat menyakitkan, menguras emosi, dan kesedihan berkepanjangan. Tentunya akan merasakan kerinduan yang sangat mendalam, seakan hidup sudah tidak memiliki arti lagi.

Badai memang pasti akan berlalu. Tidak ada yang abadi di dunia ini. Begitu pun dengan rasa sedih yang sedang dirasakan. Mau menangis sebanyak apa pun, dan marah sebesar apa pun tetap tidak akan membuat orang yang mati kembali hidup.

"Mengapa kamu melakukannya? Saya berharap, kamu mendapatkan penderitaan yang melebihi segalanya. Kamu pantas mendapatkan hukuman yang berat. Saya akan terus mengutuk kehidupanmu."

Ibu Luella tidak hentinya menangis histeris. Ibumu pun menangis dan terus memohon ampunan. Yang bisa kamu lakukan hanyalah berbaring melihat kericuhan di sana. Pada akhirnya, ibu Luella jatuh pingsan dan dibawa ke ruangan lain. Sedangkan ibumu langsung memeluk tubuhmu sambil berkata, "Jangan terlalu dipikirkan. Ibu tahu kamy bersalah. Ibu akan setuju dengan hukuman yang diberikan oleh mereka. Namun Ibu tahu, ini bukan hanya kesalahanmu saja."

"Aku tidak pantas hidup, Ibu. Aku bukan lagi anakmu. Aku sudah membuatmu kecewa."

"Tidak, Gerald. Kamu anak Ibu yang paling baik."

Seberapa besar kesalahan seorang anak, sang ibu akan ikhlas memaafkannya. Walaupun berulang kali melakukan kesalahan, rasa cinta dan kasih sayang seorang ibu akan mematahkan semua kekecewaan.

🌹🌹🌹

Kesalahan Mematikan (TAMAT) Where stories live. Discover now