Bagian 2 - 6 (Aksi)

11 3 0
                                    

Terdengar suara ketukan pintu yang keras berulang kali berasal dari pintu rumahmu. Sontak kamu pun segera melihat siapa orang di balik pintu tersebut. Kamu melihat ada temanmu, David yang berdiri dengan napas terengah-engah memasuki rumahmu begitu saja. Wajahnya tampak penuh dengan luka lebam. Bukan hanya itu saja, di bagian punggungnya terdapat noda merah seperti darah. Segera kamu menutup pintu rumahmu dan menghampiri David.

"Apa yang sudah terjadi?" tanyamu penasaran.

David tampak merintih kesakitan. "Ayah ingin membunuhku. Bedebah."

"Maksudnya?"

"Sekolah memutuskan untuk mengeluarkanku dan memindahkanku ke asrama. Ayahku sangat marah dengan masalah itu. Dia memukulku. Ayah sialan," jelasnya. "Luella harus membayar semua ini. Dia harus keluar juga dari sekolah dan menanggung rasa malu juga."

"Dav. Jangan macam-macam. Sudah jelas ini bukan salahnya. Kitalah yang bersalah."

David menatapmu. "Apa kamu membelanya? Apakah kamu menyukai gadis itu, Ger?"

Kamu tidak menjawab. Kamu hanya terdiam menatap mata David yang penuh dengan amarah besar itu. Memang benar, apa yang dikatakan banyak orang. Jika amarah sudah menguasai segalanya, maka tidak ada pikiran baik di dalamnya.

"Bantu aku sekali ini saja, hanya untuk membalaskan kesengsaraan ini. Dia harus menanggung lebih dari sakit yang aku rasakan," pinta David.

Sejenak kamu melamun, seakan berpikir sesuatu. Wajahmu pun tampak kebingungan, seperti merasakan kebimbangan antara membantu David atau tidak. Namun jika dirimu masih memiliki hati nurani, maka tolaklah. Untuk alasan apa pun, balas dendam adalah hal yang salah.

Apakah kamu tahu, membalas dendam akan membuat rasa sakit semakin mendalam? Jelas, karena sulitnya melupakan masalah yang terjadi, dan hanya terus memikirkannya. Maka dari itu, amarah selalu menguasai diri dan pikiran yang dapat melakukan hal sampai di luar akal sehat.

"Apa yang akan kamu lakukan?"

"Apakah kamu takut gadis yang kamu sukai tersakiti?" sindirnya.

"Jangan pernah berbicara seperti itu. Jelas aku tidak menyukai gadis seperti dia," umpatmu kesal.

Sejenak suasana menjadi hening.

"Apakah ibumu ada di rumah?" tanya David tiba-tiba.

Kamu menggeleng. "Tidak. Ibuku sedang pergi karena ada urusan."

"Kapan pulang?"

"Kemungkinan akan menginap."

"Aku sudah berpura-pura meminta maaf kepada Luella. Bahkan, aku mengajaknya keluar untuk sekadar mempermalukan dia." Kamu menengok. Raut wajahmu seakan terkejut mendengarnya. "Namun dia tidak bisa keluar. Keluarganya pergi, karena ada urusan. Dia harus menjaga rumah. Aku memaksanya untuk mengizinkanku datang ke sana."

"Lalu?"

"Dia membolehkanku datang. Ini sebuah kesempatan bagus, dan aku jadi punya ide lain."

"Perasaanku mulai takut terhadapmu, Dav."

David memukul pundakmu. "Ayolah! Ini akan seru."

"Apa yang kamu rencanakan?"

David tidak menjawab dan kalian berdua hanya melempar pandangan. Tidak mengerti lagi, tetapi dari tatapan mata David ada suatu rencana buruk yang akan terjadi. Kalian berdua pun memutuskan untuk pergi yang entah ke mana.

Waktu menunjukkan pukul 20.23. Kalian berdua berdiri di seberang jalan seraya menatap ke salah satu rumah yang ada di sana. Tampak kalian berdua memperhatikannya, seperti mengintai rumah seseorang. Sesekali David melihat situasi sekitar. Sudah sepi. Wajar saja, tempat yang mereka datangi melewati desa kecil, masih penuh dengan perkebunan, tidak padat penduduk dan jaraknya cukup jauh menuju jalan utama. David menyalakan rokok dan dia berbicara.

Kesalahan Mematikan (TAMAT) Where stories live. Discover now