Bagian 1 - 4 (Kawan)

27 8 5
                                    

"Terima kasih sudah membawa Gerald kemari. Jika tidak, mungkin dia akan lebih menderita," sahut ibumu sambil mengantar Allura keluar dari ruangan.

"Itu sudah tanggung jawab saya. Maaf atas insiden ini, karena saya juga tidak tahu akan kejadian seperti ini lagi. Padahal saya sudah berusaha untuk memberitahukan kepada semua murid bahwa tidak boleh ada perundungan lagi. Bahkan dari pihak sekolah pun tidak akan memberi toleransi kepada tiap murid yang tetap melakukannya," jelas Allura.

"Sudahlah, Bu. Jangan dibahas lagi. Ini karena Gerald memang mengalami trauma atas perbuatannya."

Dia tersenyum pada ibumu. "Kalau begitu, saya pamit. Ada urusan lain yang harus saya selesaikan."

"Sekali lagi, terima kasih."

"Baik, Bu," sahutnya. Lalu dia beralih menatapmu. "Gerald, semoga lekas sembuh dan segeralah baik-baik saja."

Allura pun pergi meninggalkan kalian. Kamu hanya menatapnya dengan pandangan kosong. Ibumu kembali padamu dan mengusap kepalamu dengan penuh kasih sayang. Itu terlihat dari senyuman dan gerakannya. Matamu beralih memandang sang ibu, kemudian kamu memegangi tangannya seakan memberi isyarat untuk menghentikan aktivitasnya.

"Kapan aku bisa pulang, Bu?" tanyamu.

"Besok," jawabnya dengan lembut.

"Aku ingin bertemu dengan David."

Sejenak ibumu terdiam. "Gerald, kamu sudah tahu, bukan, bahwa kamu tidak diperbolehkan untuk menemuinya dulu?"

"Ini sudah hampir setahun sejak kejadian itu, Bu," sahutmu.

"Tidak lama lagi dia akan kembali ke sekolah untuk menyelesaikan ujiannya. Apa kamu tidak akan menunggu waktu itu?"

Kamu memalingkan wajahmu ke arah jendela. "Kupikir ... aku merasa rindu."

Ibumu mulai melebarkan senyuman seraya mengelus kepalamu dengan lembut. Dia mulai bercerita mengenai pertemanan di antara kamu dan David. Rupanya ibumu berkata bahwa, David anak yang baik dan selalu membantu ibumu di saat dia kekurangan perihal materi. Dia juga menyatakan padamu bahwa, kamu selalu ada dalam pikirannya setiap waktu. Bukan hanya itu saja. Dia mengaku kepadamu, dia sering merasa terpuruk saat melihatmu terluka—baik jasmani ataupun secara rohani. Kamu adalah prioritas paling utama bagi dirinya. Dialah seorang ibu yang tidak akan merasa ragu untuk mendapatkan semua beban berat kehidupanmu.

Kamu mendengarkan curahan hatinya sambil meneteskan air mata dengan pandangan yang tertuju pada satu titik di luar kaca jendela, yaitu sebuah pohon besar nan lebat. Tidak pasti, tetapi kelihatannya memang seperti itu. Ibu mana yang tega melihat anaknya menderita? Terkadang seorang anak pun lebih memetingkan egonya sendiri tanpa memikirkan perasaan orang-orang di sekitarnya.

🌹🌹🌹

Waktu pun berlalu. Kamu sudah pulang dari rumah sakit dan kembali menjalani kehidupan. Terlihat ibumu sedang menggoreng donat dan kamu membantunya dengan menyusun donat tersebut dalam baki. Kemudian kamu menaburkan gula tepung di atasnya secara merata.

Ibumu menatap dan tersenyum ketika melihatmu sudah membaik. Mungkin kini perasaannya cukup tenang, karena saat ini dirimu tidak murung seperti hari sebelumnya. Bahkan sesekali dirimu bertanya padanya, "Seberapa banyak porsi gula tepung yang harus ditaburkan pada kue donat ini, Bu?

Namun jawaban ibumu sangat mengejutkan. Dia berkata, "Sebanyak kamu mengasihani dirimu sendiri."

Kamu menengok dan kembali melanjutkan pekerjaanmu. "Mungkin tidak akan cukup."

Ibumu tersenyum. "Tolong kemarikan penyaringannya. Sudah hampir matang."

Kamu menggapai penyaringan tersebut dan memberikannya. Lalu seluruh donat yang sudah diberi tepung gula pun langsung ditutup. Kamu beranjak seraya menggapai tas sekolah. "Aku berangkat dulu, Bu."

Kesalahan Mematikan (TAMAT) Where stories live. Discover now