SL : 02

5.4K 414 18
                                    

Untukmu hati, maaf jika aku terlalu mengikuti ego tanpa mau mempedulikan rasa sakitmu.

🥀🥀🥀

"Bunda harus ke Bandung hari ini."

Rama yang sedang meneguk susunya hampir saja tersedak saat mendengar ucapan Mia— bundanya. Pemuda bersurai hitam legam itu menaruh gelasnya kasar ke meja, jelas menunjukkan ketidaksukaan pada kabar tersebut.

"Bunda baru aja pulang kemarin dari Jogja, mau apa ke Bandung?" tanyanya.

"Ada tawaran proyek baru di sana."

Rama tersenyum kecut. Ia menyantap rotinya dengan tak minat. "Berapa lama?"

"Paling lama dua hari, tapi kalo udah deal kemungkinan bunda akan bolak-balik ke sana. Gak apa-apa, 'kan?"

Mia memegang punggung tangan anaknya, mengukir senyum untuk mendapat pengertian. Ia tahu jika Rama merasa kesal karena terus-terusan ditinggal pergi olehnya. Namun, dia harus tetap bekerja, setelah bercerai dengan ayahnya Rama tiga tahun lalu, tinggal dia yang harus jadi tulang punggung keluarga.

Rama diam, menarik tangannya dan memilih menghabiskan roti panggangnya lebih dulu sebelum menjawab.

"Aku keberatan," katanya dengan tenang, menatap sang bunda yang kini raut wajahnya jadi menurun. "Aku keberatan bunda ambil proyek itu."

"Rama, bunda kerja 'kan juga buat kamu."

Rama menggeleng, tangan kirinya mengepal di bawah meja makan. Ia menunduk, menahan kesal yang hampir sampai ke ubun-ubun.

"Waktu itu, aku pilih ikut sama bunda daripada sama ayah karena aku harap bunda akan kasih aku perhatian lebih banyak dari ayah, tapi kenyataannya malah jauh dari ekspetasi. Bunda jadi sama aja kayak ayah, sekarang jadi gila kerja, jarang quality time bareng aku, terus sering bolak-balik keluar kota. Kenapa?"

Rama mengangkat wajah, menyorot wanita yang di wajahnya sudah nampak kerutan samar itu dengan sendu. "Apa gak bisa bunda lepas aja proyek kali ini? Bukannya bunda sering bilang kalau rejeki itu gak akan ke mana? Nanti juga pasti ada proyek baru yang ditawarkan, tapi untuk saat ini bunda harus libur dulu."

Mia menelan ludah. Ia mengalihkan wajah, memilih menatap piring berisi roti yang tinggal setengah di depannya. Lalu berkata pelan, "Maafin, bunda, Sayang. Bunda tetap akan ambil proyek ini."

Raut wajah Rama berubah seketika, bukan sendu lagi melainkan jadi tanpa ekspresi. Ia tersenyum miring, meminum sisa susunya di gelas sampai tandas, kemudian bangkit dengan kasar sampai membuat suara decitan kursi.

"Aku berangkat, Bun," pamitnya singkat. Kemudian segera berbalik pergi, tanpa melakukan kegiatan rutinnya untuk menyalimi tangan Mia lebih dulu.

Rama tahu jika orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Namun kadang, mereka tak mengerti apa yang paling dibutuhkan sang anak.

***

Hari ini Alya membawa stoples kecil cookies yang dibuatnya semalaman hanya untuk diberikan pada Rama nanti. Tadi pagi Alan sempat heran kenapa dia harus repot membuat cookies segala di hari biasa seperti ini. Kakaknya itu sepertinya melihat ada akal bulus dari pikiran sang adik.

Ya, kecurigaan Alan memang benar. Alya memang punya tujuan terselubung hingga bela-belain membuat kue kesukaan Rama tersebut. Seperti perintah Alan, Alya punya misi untuk mengajak Rama ke rumah agar bisa dipertemukan dengan kakaknya tersebut. Dan cookies itu adalah salah satu alat modusnya.

Second Lead (Toxic) ✓Where stories live. Discover now