SL : 29

7.2K 366 0
                                    

Aku tahu aku pantas dihukum, tapi dengan mengatakan 'tak akan memaafkan' bukankah itu terlalu kejam?

🥀🥀🥀


[Maafin gue, Qi. Gue terbawa emosi kemarin, gue tau gue salah, gue nyesel. Tolong maafin gue.]

Dengan tangan kiri sibuk mengompres wajah menggunakan handuk dingin, tangan kanan Rama bergerak membaca ulang pesan yang dikirimnya tadi pagi untuk Qinan. Hanya terdapat tanda ceklis dua warna biru di ujung pesan. Tanda jika temannya itu hanya membaca pesannya saja. Sengaja mengabaikan.

Rama menghela napas pelan, sudah menduga akan begitu. Tak seperti dulu— ketika Rama membuat kesalahan yang sama— Qinan masih bisa menanggapinya dengan tenang dan tetap menanggapinya. Akan tetapi, untuk kesalahan yang dia ulang kemarin, Rama tahu jika tak ada toleransi untuk Rama lagi.

Qinan terlalu kecewa. Qinan terlalu marah. Meski begitu Rama yakin Qinan akan memaafkannya, tapi mungkin sekarang dia harus bersabar lebih lama jika ingin mendapat maaf darinya.

Beralih dari sana, kini tangan kanannya bergerak untuk melihat roomchatnya dengan Alya. Tak ada pesan baru yang Rama kirim seperti yang dilakukannya pada Qinan tadi.

Bukannya tega, bukannya tak mau. Rama juga ingin mengirim pesan permintaan maaf juga pada Alya, akan tetapi nomornya lebih dulu di blokir. Bukan hanya nomor, bahkan semua sosial medianya sudah diblokir Alya. Gadis itu marah besar padanya. Entah apa yang harus Rama lakukan untuk menebus rasa bersalahnya.

Tak ada yang bisa Rama lakukan lagi, selain mengikuti saran Kibo semalam.

"Diam aja dulu, kalian butuh waktu nenangin diri."

Walaupun Kibo itu random dan gaje. Namun, sebenarnya pemuda itu adalah pendengar terbaik yang pernah dia temui.

Rama menaruh ponselnya di meja nakas. Dia mengangkat wajah, menatap pantulannya di cermin lemari. Lalu berdecak kecil, menyentuh pelan memar yang masih nampak jelas di sana. Ditambah ada plester yang dipasang memanjang di pipi kirinya. Bundanya akan memarahinya jika tahu.

Untuk kesekian kali dia mencelupkan handuknya ke mangkuk es, menaruh sebuah es batu juga di sana, lalu menempelkannya kembali pada bekas ungu yang masih tersisa.

Meski kemudian perhatiannya kembali teralihkan pada ponselnya yang berdering. Rama meraihnya, langsung dibuat mengernyit karena yang menelponnya adalah nomor tak dikenal.

Ia mengangkatnya. Hendak menyahut lebih dulu, akan tetapi suara lembut seseorang lebih terdengar dari seberang sana. Membuat Rama menegang karena menyadari siapa si pemilih suara itu.

"Halo, Ram. Gue Alya."

Rama menelan ludah, sekarang Alya sudah memakai kata pengganti lo 'lo-gue' padanya. Membuat Rama merasa asing.

"Al—"

"Jangan ngomong apa pun. Ini bukan nomor gue, gue nelpon lo cuma mau menegaskan sesuatu." Ada hening sejenak. Rama mendengar helaan napas pelan sebelum Alya kembali melanjutkan kalimatnya. "Kita udah putus. Kemarin gue belum sempet ngomong itu."

Rama menelan ludah. Refleks menahan napas sejenak. Padahal sejak awal Rama tak bisa tulus pada Alya, tapi anehnya setiap kali Alya ingin berhenti, Rama selalu berusaha mencegahnya, sehingga Alya kembali bertahan lagi untuknya.

Namun, kali ini Rama tahu jika ia tak bisa melakukan apa pun lagi untuk mencegah. Rama harusnya menerima, sudah sewajarnya Alya pergi, sudah seharusnya Alya menyerah padanya.

"Iya ..." Rama berkata pelan. Menunduk sembari meremas sprai.

"Satu lagi, mulai sekarang jangan pernah muncul ke hadapan gue. Gue ... gak mau ketemu lo lagi."

Second Lead (Toxic) ✓Where stories live. Discover now