SL : 11

5K 370 17
                                    

Sebelum baca ayo vote dulu guys.
Mohon kerjasamanya.
^__^

•••

Lama kelamaan pahit yang terlalu lama dipendam akan terus membekas. Bahkan meski manis sudah hadir sekalipun, rasa itu tak akan hilang.

🥀🥀🥀


Kaila dan Alan baru keluar dari toko buku saat tiba-tiba hujan turun dengan deras. Sejenak mereka berdiam diri di depan bangunan tersebut, menatap rintik air yang mulai membuat genangan di parkiran depan.

"Hujan." Alan bergumam.

Kaila refleks mengangguk. "Iya aku tau."

Alan melirik, tertawa pelan karenanya. Ia tadi hanya begumam saja, tak sangka Kaila akan menyahutinya.

"Abang kok ketawa?"

"Lucu aja."

"Apa yang lucu?"

Alan tersenyum hingga lesung di pipinya tercetak. "Kamu."

Spontan saja napas Kaila tertahan di kerongkongan. Rasa dingin yang tadi mulai menjalar mendadak lenyap digantinkan hawa panas yang mengalir di aliran darahnya.

"Mau nanti aja pulangnya?"

Kaila segera menguasai diri, mengalikan pandangannya dari Alan. "K-kenapa? Kita kan naik mobil. Jadi harusnya gak masalah juga walau hujan."

"Oh gak apa-apa, sih. Kalo kamu mau langsung pulang juga gak—"

"Eh nanti aja!" sela Kaila dengan cepat. Agak membuat Alan tersentak karenanya. Kaila tersenyum kikuk jadi malu sendiri. "Maksudku abang bener, mending nanti dulu pulangnya. Eung ... sebagai tanda terima kasih aku mau traktir abang dulu, gimana?"

Kaila berusaha keras menahan debaran jantungnya, harap-harap cemas semoga pipinya tidak berubah merah saat ini.

Jujur saja setiap bersama Alan, Kaila tak pernah bisa benar-benar rileks.  Ia bahkan tak berani bertatapan dengan Alan lebih dari lima detik. Takut jika akan jatuh lebih dalam lagi pada kakak dari sahabatnya itu.

"Boleh, kita ke kafe sana aja tuh," kata Alan menunjuk kafe yang ada di samping toko buku.

Kaila mengangguk saja. Mereka sampai ke tempat itu setelah berlari beberapa meter menerobos hujan, kemudian memasuki kafe bernuansa biru tersebut. Ternyata cukup banyak pengunjung di sana, sepertinya mereka pun sedang menunggu hujan reda sambil nongkrong.

Keduanya menghampiri meja yang masih kosong. Kaila hendak menarik kursi, tapi lebih dulu ditarik oleh Alan. Awalnya dia pikir itu karena Alan ingin duduk di sana, tapi setelah mendengar ucapan Alan selanjutnya Kaila langsung dibuat tertegun.

"Kenapa diem? Ayo duduk di sini." Alan berkata dengan tangan masih memegang sandaran kursi tersebut.

"Ha?" Kaila mengaga kecil, ia mendadak gelagapan. "A-abang ngapain? Gak perlu gini."

Ini terlalu manis. Rasanya Kaila ingin meleleh, menyumblim, dan melebur saat ini juga. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ada orang yang sengaja menarikkan kursi untuk Kaila duduki. Sudah seperti seorang Putri saja.

"Gak apa-apa, udah kebiasaan."

Walaupun ucapan Alan selanjutnya membuat Kaila urung untuk berkhayal jadi Tuan Putri. Alan bilang dia sudah biasa, itu berarti dia memang selalu seperti ini pada siapa pun. Jadi tak seharusnya Kaila merasa dispesialkan seperti sekarang.

Tanpa menimpali lagi Kaila duduk di kursi itu, sementara Alan mengambil tempat tepat di depannya. Baru setelah itu mereka memesan minuman.

Dibanding kopi milik Kaila yang mengepul panas, kopi milik Alan justru terlihat berembun di luar gelasnya. Padahal saat ini hawanya sedang dingin karena hujan, tapi bukannya membeli minuman untuk menghangatkan badan, Alan malah memesan ice latte.

Second Lead (Toxic) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang