SL : 14

5.1K 322 2
                                    

Vote sebelum baca ya:)

•••

Aku tak mau iri, tapi kenapa kejadiannya selalu begini?

🥀🥀🥀

Sikap Rama berubah terlalu mendadak. Alya bahkan sampai tak bisa mempercayainya sama sekali. Di saat Alya sudah hampir menyerah, Rama tiba-tiba mencegah dengan ketulusan yang dia tunjukkan. Seolah menutup semua pintu keluar yang baru saja ingin Alya buka.

Alya tak tahu apakah Rama benar-benar tulus mengatakan itu atau tidak. Sejujurnya ia tak mau berharap lebih lagi, tetapi pikiran dan hatinya tak bisa berkompromi untuk tak terjatuh dalam kubangan harapan kembali. Pertahanan Alya benar-benar runtuh. Rasa sayangnya justru makin bertambah.

"Aku gak bisa mutusin Rama, Bang. Aku sayang sama dia."

Alan menghela napas pelan. Sudah tak punya stok kata-kata untuk menasehati adiknya. "Yaudah, abang juga gak akan maksa kalo kamu gak mau mutusin dia. Tapi tolong ingat baik-baik, jangan sampai kamu nyakitin diri kamu sendiri, ya? Kalo sekali lagi aja dia buat kamu jadi kayak kemarin abang akan turun tangan langsung."

"Kemarin juga abang udah turun tangan." Alya mencibir. "Tiba-tiba langsung nonjok, apa-apaan coba?"

"Maaf, kemarin itu refleks karena kesel." Alan terkekeh, mencubit pelan pipi Alya dengan gemas. "Kamu harus tau kalo rasa sayang abang sama kamu jauh lebih besar daripada sayang kamu ke Rama."

"Aku tau kok, tau banget." Alya menyengir, menyandarkan kepalanya ke bahu Alan. "Aku juga sayanggggg banget sama abang," katanya dengan nada lebay.

"Biasa aja ngomongnya. Abang malah jadi geli." Alan tersenyum tipis sambil mengusap kepala Alya. "Btw kamu masih anget. Kenapa tadi maksa kuliah, sih?" katanya sambil mendorong pelan tubuh Alya menjauh darinya.

"Aku gak apa-apa, kok. Cuma anget, gak panas."

"Ngejawab mulu kalo dibilangin!"

"Iya nanti aku minum obat."

Alan mengacungkan jempol. "Bagus, sana ke kamar! Udah malem."

"Siyap bos!" Alya berdiri tegak sambil hormat. Kemudian berbalik dan melangkah pergi ke anak tangga. Meski kemudian langkahnya terhenti saat suara bel rumahnya berbunyi.

Sebelum Alan beranjak dan membuka pintu, Alya lebih dulu menyerobot pergi. "Biar aku aja."

Alya meraih kenop pintu. Memasang wajah ramah sebelum membukanya. Lalu tepat ketika dia melihat siapa yang datang, refleks saja senyumannya semakin melebar.

"Pa, Ma!"

Deswita dan Raden—kedua orang tuanya itu berdiri di depan pintu, tersenyum tipis sebagai balasan. Alya spontan maju sambil merentangkan tangan, memeluk erat kedua orang tuanya sekaligus.

"Kenapa gak bilang-bilang mau pulang?" tanyanya setelah pelukan singkatnya selesai.

Deswita mengusap pucuk kepala Alya sekilas. "Kan biar kejutan."

"Abang kamu di mana?" Daripada menyapa balik Alya, Raden memilih bertanya hal lain.

"Ada kok lagi di ruang tengah."

Raden mengangguk. Kemudian melenggang masuk melewati Alya begitu saja. Deswita menepuk pelan bahu Alya sambil tersenyum simpul. "Tolong sekalian bawa koper-koper masuk, ya," katanya lalu menyusul suaminya ke dalam rumah. Meninggalkan Alya yang termenung memandangi dua koper besar di teras rumah.

Second Lead (Toxic) ✓Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora