Rasa yang Bersemayam

58 20 3
                                    

Inspired by Six Feet Under (Billie Eilish)


***

     Hujan turun menghantam bumi dengan derasnya, mengiringi perkumpulan orang-orang yang tengah mengantar jasad menuju tempat peristirahatannya.

    Dari kejauhan, aku melihat beberapa wanita menangis meraung-raung, masih tak menerima kenyataan. Ayolah, ini sudah takdir jangan ditangisi! Doakan saja agar dosanya terampuni.

    Setelah prosesi pemakaman selesai, dilanjut dengan pembacaan doa. Setelah selesai, mereka pun pulang ke kediaman masing-masing meninggalkan jasad tak bernyawa itu sendirian di perut bumi.

    "Kasihan sekali. Apa aku bisa mengajaknya bermain?" Aku beretoris.

    Tiba-tiba seorang pria berkacamata hitam datang menghampiri sebuah pusara tak jauh dari tempat baru itu.

    Itu milikku.

    Kulihat ia memegang sebuket bunga mawar putih di tangan kirinya. Kemudian ia berjongkok di pinggir pusara dan meletakkan bunga segar itu.

    Itu bunga kesukaanku.

    Ia mengusap tugu pusara itu pelan, lalu mengecupnya sekilas.

    "Sudah lama sekali, ya...." Ia berucap dengan suara lirih, membuatku tertegun.

    Sekuat mungkin menghela napas berat, menahan sesak di dadanya. "Aku merindukanmu. Masih–"

    Hatiku seakan tersayat mendengar tutur kalimatnya yang bergetar.

    "Aku– akan– selalu–"  Ucapannya tersendat-sendat seiring dengan matanya yang berkaca-kaca. Namun ia tetap memaksakan untuk tersenyum.

    Inilah yang membuatku sakit, senyuman itu.

    "Menangislah jika kau tidak kuat." Entah dorongan darimana, aku menghambur memeluknya yang sedang berjongkok itu.
Seolah mendengar apa yang aku katakan, ia mulai menangis tergugu.

    "Mengapa kamu meninggalkanku?" tanyanya sambil terisak, tapi mustahil bagiku untuk menjawab nya.

    Seseorang tolong tenangkan dia!

    Akupun ikut menangis dengan posisi masih memeluknya. Ku pandangi wajah sembabnya yang sarat akan kerinduan dan kesepian. Ia terlihat sangat putus asa.

    "Maafkan aku," ucapku lirih, berharap ia bisa mendengarku atau setidaknya perasaanku bisa sampai ke hatinya.

    Kini tangisnya mulai mereda.

    Ia menatap tugu yang bertuliskan namaku itu lalu mengusik-ngusik tanah pemakamanku.

    "Kau tau? Akhir-akhir ini aku sering menerima surat undangan dari teman-teman bodoh kita," ujarnya tiba-tiba. Kebiasaanya jika bertemu denganku adalah akan bercerita panjang lebar mengenai kehidupannya.

    "Tak terasa, kita semakin tumbuh dewasa," sambungnya, lalu tertawa hambar dengan mata yang masih sembab.

    Aku hanya bisa memandangnya sendu.

    "Kau apa kabar di sana?"

    "Apa ada laki-laki yang lebih tampan dariku?"

    "Jangan-jangan kau sudah melupakanku, huh?"

    "Setialah padaku, karena–" Ia terisak kembali.

    "Rasaku padamu tak akan berubah." Suaranya tercekat, terdengar seperti berbisik.

    Setelah puas menangis dan mengoceh di atas pusaraku, ia pun berdiri dan bersiap untuk pulang setelah melakukan sedikit peregangan.

    "Aku akan kembali setelah pekerjaanku di luar negri selesai bulan depan."

   "Jangan bosan-bosan mendengar celotehanku." Ia mengusap kepala pusara seolah sedang mengacak rambutku. Lalu berbalik dan benar-benar pergi.

    Sementara itu, aku terus menatap kepergiannya dengan berat hati sampai punggungnya tak terlihat lagi.

    Maafkan aku, aku juga sangat merindukanmu. Kau sudah dewasa, carilah penggantiku dan berbahagialah. Aku baik-baik saja di sini.

   Tidak ada siapapun, di sini aku selalu sendiri. Aku ingin melupakanmu, tapi tak bisa. Aku akan menunggumu, karena seluruh hatiku juga ada padamu.

    Jangan terlalu gila kerja, sesekali tenangkan pikiranmu. Jaga kesehatanmu, jangan seperti aku semasa hidup dahulu.

    Tuhan, aku ingin mengatakan itu. Namun sampai kapanpun, pesanku tak akan pernah sampai padanya.

    Kekasihku, maafkan aku.

    Berbahagialah meskipun tanpa aku.

    Karena kau masih memiliki seluruh hatiku.

    Dan rasamu juga telah terkubur.

    Bersamaku.

The end

Antologi KACAU✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang