(Un)Beloved

35 15 1
                                    

Inspired by : I Love You (Billie Eilish)

Official Trailer

***

Aku dan dia memang terikat dengan status kekasih. Begitu kah? Dia pria yang baik, tidak pernah memperlakukanku dengan kasar, dan selalu memberiku perhatian, sebut saja aku prioritasnya.

Tapi jika aku menanyakan satu hal kepadanya, ia tidak pernah mau menjawab.

"Apakah kau mencintaiku, Zul?" Ia hanya tersenyum simpul.

Aku jadi ragu dengan perasaannya.

Suatu hari, aku benar-benar bosan berdiam diri di rumah. Maklum, di akhir pekan biasanya aku akan pergi ke pedesaan untuk menenangkan pikiran, sendirian.

Namun entah kenapa hari ini aku malas pergi ke sana. Lalu aku memutuskan untuk diam saja di rumah, sehingga lama kelamaan mulai dihantui rasa bosan. Apa yang harus kulakukan sekarang?

"Aha!!! Aku berkunjung saja ke rumah Zulfan!" seruku tiba-tiba.

Aku pun segera bersiap-siap untuk mandi dan berpakaian rapi. Setelah meminta izin ibuku yang tengah sibuk dengan tanaman bunga mataharinya, aku melesat dengan sepedaku.

Jarak dari rumahku ke rumah Zulfan sebetulnya cukup jauh. Namun aku tidak ingin mengeluarkan uang hanya untuk sekedar naik bis. Hitung-hitung olahraga juga apa salahnya?

Sesampainya di rumah Zul, ku lemparkan sepedaku asal-asalan. Aku sudah sangat merindukannya, padahal terakhir kali kami bertemu kemarin sore di minimarket.

Bicara minimarket, aku tak sengaja melihat Zul membawa sebuket bunga entah apa namanya. Aku ingin bertanya, namun urung aku lakukan, karena ia terlihat seperti orang yang terburu-buru.

Sudahlah, lupakan!

Ku tekan bel rumahnya yang berbunyi aneh itu, seperti suara kuda. Namun tak ada jawaban, mungkinkah tidak ada orang?

Saat aku memutar knop nya ternyata tidak dikunci, sontak saja aku berdecak. "Ceroboh sekali! Bagaimana jika ada pencuri masuk?"

Karena tidak ada tanda-tanda orang dari dalam, aku pun terpaksa masuk untuk memastikan keadaan.

"Zul!!!" teriakku lumayan kencang.

"Apa kau di dalam?" Ternyata masih tak ada jawaban.

Bolehkah aku berburuk sangka, sepertinya Zul tuli.

Lalu tiba-tiba aku mencium aroma manis dari arah dapur.

Kue pie? Siapa yang memasak?

Tanpa sadar kakiku menyeret ku menuju dapur. Betapa tercengangnya aku melihat seorang gadis sedang berdiri di depan konter dapur sambil memegang kue pie di tangannya. Dia membelakangi ku, jadi tidak menyadari kehadiranku.

Siapa gadis itu? Lalu Zul di mana?

"Sayang, aku sudah mempersiapkan-" Aku langsung menoleh ke belakang ketika mendengar suara Zul.

Aku mendapati wajahnya yang tegang dan pucat, seperti orang yang tertangkap basah mencuri.

"Sayang???? Siapa yang kau panggil sayang, Zul!?" Aku masih bingung dengan situasi ini.

"Maaf, anda siapa?" Terdengar suara dari belakangku, gadis itu. Ku tebak umurnya pasti lebih muda dariku.

"Apa maksud semua ini, Zul!?" tanyaku meminta penjelasan.

Ia tampak kebingungan, seperti ingin menjelaskan sesuatu namun tak tahu harus mulai dari mana.

"Kau! Jangan bilang kau-"

"Tidak, ini salah paham, Widy." Dia memotong ucapan ku.

"Kalau begitu jelaskan!!!" Aku marah, lalu melenggang pergi dari dua onggok manusia itu.

*
*
*

"Widy, tunggu aku!" Aku terus berjalan cepat tanpa menghiraukannya.

Sudah pasti, dia selingkuh, bukan? Tapi apakah itu alasan dia tidak pernah mengatakan cinta padaku. Apa karena dia mencintai gadis itu?

"Maafkan aku," ucapnya saat berhasil meraih pergelangan tanganku.

"Sekarang aku tahu, Zul," ucapku pasrah.

"Dengarkan aku dulu, Widy!" Aku menggeleng, tak ingin mendengar apapun lagi.

"Dari awal kau tidak pernah mencintaiku, benar kan?" Ia hanya bungkam, tandanya iya.

"Dan kau mencintai gadis itu. Jujur saja," ucapku pelan dengan seulas senyum paksa.

Ia pun mengangguk dengan raut wajah menyesal.

"Mengapa tidak bilang dari dulu, hah?"

"Maafkan aku. Aku tidak ingin menyakiti perasaanmu," ungkapnya jujur.

"Tapi kenyataannya, hubungan palsu yang kita jalani juga lebih menyakitkan bagiku." Aku mulai terisak.

"Aku sungguh minta maaf," ucapnya berkali-kali seraya memelukku.

Aku menangis di dadanya, antara marah, malu, dan kecewa. "Mari akhiri hubungan kita."

Ia terperanjat dan spontan melepas pelukannya.

"Mengapa?"

Aku menghela napas. "Karena hubungan tanpa perasaan itu tidak baik. Dan juga, cinta tidak bisa dipaksakan."

Ia, pun tersenyum lalu memelukku kembali. "Kau pasti akan menemukan lelaki yang jauh lebih baik dariku," ucapnya setulus hati.

"Kau juga berbahagialah dengannya. Aku tak akan menghalangi perasaan kalian lagi," balasku tak kalah tulus.

"Apakah kita masih bisa berhubungan baik?" tanya Zul khawatir.

Aku merubah ekspresi ku sesinis mungkin.
"Jangan harap!" jawabku ketus seraya membuang muka.

Dilirik dari ekor mataku, Zul terlihat kaget dan merasa bersalah.

"Tentu saja Bodoh, kau kan sahabatku!" imbuh ku kemudian, lalu tertawa.

Ia bernapas lega, ternyata aku hanya bercanda. Ya, walaupun hatiku terasa sakit. Aku harus mencoba ikhlas.

The End

Antologi KACAU✅Where stories live. Discover now