The Man Who Rides Bicycle 3

10 4 1
                                    


Hari itu, langit masih terlihat gelap disusul benang-benang fajar yang perlahan menyingsing. Juna tiba-tiba terjaga dari tidurnya. Ia pun bangun dan segera mencuci wajah agar lebih segar.

Ia melihat refleksi dirinya di depan cermin wastafel dengan deru napas yang sedikit memburu. Kehadiran sang ayah di mimpinya membuat ia menjadi emosional secara tiba-tiba.

Juna merindukannya, terlihat jelas dari sorot matanya yang tampak dari pantulan cermin. Seketika kenangan semasa hidup sang ayah bersamanya berputar di kepala.

"Se rindu itukah, dad? Sampai harus mendatangiku ke alam mimpi?" Ia tersenyum sambil menitikkan air mata yang buru-buru ia hapus.

Jangan sampai ibunya mengetahui apa yang terjadi padanya, karena itu akan membuat sang ibu menangis berhari-hari.

Saat itu juga, ia memutuskan untuk menziarahi makam sang ayah setelah bersiap-siap.

Lagi dan lagi, sepeda itulah yang menjadi temannya menyusuri jalanan setapak menuju tempat peristirahatan terakhir bagi orang-orang yang telah wafat.

Suasana yang Juna dapati saat pertama kali menginjakkan kaki di sana adalah sepi, sunyi, gelap, dan dingin mencekam. Lampu yang remang-remang dikelilingi oleh kumpulan laron serta angin malam yang bertiup pelan menggelitik pundaknya menambah suasana seram. Tapi Juna tetap memberanikan diri masuk lebih dalam, menepis rasa takut yang menghinggapi.

Hingga, sampailah ia di depan batu nisan dengan tanggal lima tahun yang lalu. Ia pun berjongkok lalu membersihkan rerumputan liar yang tumbuh di atas pusara sang ayah. Kemudian memanjatkan doa untuk ketenangan ahli kubur agar diampuni dosanya oleh Yang Maha Kuasa dan ditempatkan di sisi-Nya. Baru setelah itu ia berdiam diri sebentar untuk melepas kerinduannya dalam kesunyian fajar.

"Ayah...."

Juna terkejut mendengar seseorang memanggil ayah, padahal di situ ia hanya seorang diri.

Ia pun menoleh kanan kiri memastikan apakah ada seseorang. Kemungkinan terburuknya itu bukan manusia.

Tidak! Aku yakin itu suara seorang gadis! Dalam hati ia meyakinkan diri.

Tepat saat ia menoleh ke suatu arah, ia melihat siluet seorang gadis sedang terduduk sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Juna memfokuskan lagi penglihatannya hingga ia yakin pasti bahwa siluet itu adalah manusia, bukan yang seperti apa yang dipikirkannya.

Dengan langkah pasti, Juna menghampiri sosok samar-samar itu. Alangkah terkejutnya ia saat mengetahui siapa gadis yang tengah menangis itu.

"Nami??!! Mengapa ada di sini?"

Merasa terpanggil, gadis itu mendongak sama terkejutnya.

"Kenapa menangis, hm?" Juna berjongkok lalu meraih bahu Nami yang terbalut kain jilbab.

Bukannya menjawab, Nami malah semakin menjadi-jadi dengan tangisannya. Hal itu membuat Juna tidak tega, lalu dengan penuh kesadaran ia memeluk Nami.

"Ssssttt... Jangan menangis di sini!" Ujar Juna lembut, namun tak berpengaruh pada Nami.

Nami masih terisak pilu tak terbendung. Dan untuk pertama kalinya, Juna menyaksikan sendiri sisi rapuh dari gadis jutek ini.

"Mau ke suatu tempat? Kamu bisa menangis sepuasnya di sana." Sambung Juna, tak disangka membuat Nami menjeda tangisannya.

Antologi KACAU✅Where stories live. Discover now