The Man Who Rides Bicycle 2

12 4 1
                                    

Akibat pertemuannya dengan Nami beberapa pekan lalu, Juna jadi lebih bersemangat pergi ke perpustakaan kota. Jika dulu ia hanya mampir untuk sekedar membaca dan melakukan self healing, kini aktivitasnya memakan waktu lebih lama daripada sekedar membaca dan melakukan meditasi, mengobrol dengan si penjaga perpustakaan.

Daripada disebut mengobrol, Juna lebih terlihat seperti berorasi. Mengobrol itu kan berkomunikasi dua arah. Sedangkan ini, sedari tadi hanya Juna saja yang berbicara. Nami sebagai lawan bicara hanya menanggapinya tanpa minat.

"Nami..." Panggil Juna suatu ketika saat menyadari raut wajah gadis itu yang tampak berbeda.

Bagaimana tidak berbeda, biasanya gadis itu hanya memasang ekspresi resting bitch face andalannya. Kendati begitu, Nami tetap mendengarkan setiap perkataan Juna karena pria itu tergolong cerdas dan ucapannya selalu berbobot, tidak banyak omong kosong.

Namun kali ini, Nami tampak berbeda. Air mukanya tampak murung meskipun tertutupi oleh wajah juteknya. Pandangannya juga terlihat kosong seolah pikirannya melanglang jauh ke mana-mana. Juna yang mulai hafal sikap Nami menjadi sedikit khawatir akan gadis itu.

"Kamu sedang ada masalah?" Tanya Juna membuatnya menoleh seketika.

Ia mengerjap sebentar, bibirnya bergerak seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi terhalang oleh rasa ragu.

"Aku baik-baik saja." Jawabnya disertai anggukkan meyakinkan diri sendiri.

"Biasanya kamu hanya menanggapi ku ogah-ogahan. Melihatmu seperti ini, aku jadi merasa tidak enak denganmu. Kamu pasti jenuh ya, mendengarkan ocehan ku setiap aku datang ke sini?"

"Tidak, jangan berpikir begitu~" Sanggah Nami membuat Juna tersenyum kecil tanpa sepengetahuan Nami.

Nami, gadis itu tanpa sadar sudah mulai nyaman dengan kehadiran Juna.

*
*
*

Nami POV.

Senja telah berganti malam, meninggalkan semburat jingga yang masih sedikit terpatri di langit yang mulai gelap.

Perpustakaan sudah tutup karena tidak ada lagi pengunjung. Sudah waktunya bagiku untuk pulang ke rumah.

Rumah?

Aku selalu bertanya-tanya, apakah benar tempat aku pulang selama ini adalah rumah? Aku tidak yakin. Setahuku, rumah adalah tempat di mana kita bisa pulang melepas rindu dan lelah, lalu kita nyaman berada di dalamnya.

Aku tidak memiliki itu, bahkan keluarga yang kumiliki pun tidak kurasa seperti keluarga sendiri.

"Kamu masih di sini rupanya." Aku menoleh seketika ketika suara hangat pria itu mengalun di telinga kiri ku.

Ia menatapku khawatir disertai helaan napas. "Bis baru saja berhenti, tapi kamu tidak naik." Ucap Juna menarik pergelangan tanganku hingga kami terduduk di kursi halte.

"Aku... Masih belum ingin pulang." Jelas ku yang membuat alis Juna berkerut.

"Mas juga ngapain belum pulang?" Aku balik bertanya.

"Bukan urusanmu." Jawabannya sok misterius, membuatku mencebik kesal.

Juna itu selalu ingin tahu tentangku, tapi dia sendiri tidak pernah menceritakan tentang dirinya.

"Oh, yasudah kalau begitu." Setelah mengatakan itu, aku bangkit bersiap untuk pergi.

Jujur saja, aku sangat takut untuk pulang. Kalau boleh, lebih baik aku ingin menginap di perpustakaan, tapi tidak diizinkan. Aku bahkan tidak apa-apa jika malam ini tidur di trotoar.

Antologi KACAU✅Where stories live. Discover now