Touch Your Heart pt.3

20 13 0
                                    

Melvin, pria itu berkali-kali dibuat tersenyum dengan tingkah gadis berbeda alam yang saat ini tengah sibuk mondar-mandir di depan meja kerjanya. Wajahnya ditekuk dengan alis berkerut dan mata memicing.

"Aku tak percaya jika usianya lima ratus tahun," gumamnya sambil menggeleng pelan lalu terkekeh.

Sedangkan Corie, gadis itu merasa jenuh berada di ruangan Melvin yang kedap suara. Wacananya menjadi guide, tapi nyatanya ia menjadi patung pajangan di tempat ini. Sungguh membosankan!

"Mr. Melvin, bisakah aku pergi ke luar?" tanya Corie dibuat formal, sengaja untuk menyindir halus tuannya yang sok sibuk itu.

Iya, sok sibuk. Pria itu kerjaannya hanya duduk bertopang dagu di atas meja, bersiul dengan sumbang, lalu bersandar pada kursi kebesarannya.

"Tidak boleh! Nanti kalau ada yang berniat mencelakai ku saat kau tidak ada bagaimana? Mau tanggung jawab?" Jawaban panjang dari pria itu membuat Corie mendengus kesal.

Bagaimana bisa Corie menjadi guide seorang pengangguran seperti Melvin. "Apa kau akan bermalas-malasan terus sepanjang hari di tempat ini?"

Pria itu dibuat melotot, tak terima dengan ucapan Corie yang terkesan mengatainya pemalas.

"Hei, Nona! Aku ini bos di sini, kalau kau perlu tahu. Dan– apa tadi, aku bermalas-malasan, katamu?" Pria itu sampai mengutipkan jarinya di atas kepala.

"Lantas apa? Kalau dipikir-pikir, manusia yang menjabat jadi bos itu bukankah tidak ada bedanya dengan pengangguran?" celetuk Corie membuat Melvin terperangah.

"Aish! Bisa-bisanya jin ini mengataiku pengangguran!" Emosinya mulai terpancing.

"Dengarkan aku, Nona! Hari ini jadwalku sedang kosong. Jadi aku tidak ada kesibukan apapun, dan– yah, aku sedang menikmati waktu senggangku," jelasnya diakhiri dengan mengendikkan bahu.

Namun tetap saja, gadis manis itu tak paham dengan pekerjaan manusia. "Yasudahlah, terserah kau."

*
*
*

Tak terasa waktu berlalu secepat hembusan angin di musim gugur. Penantian si gadis selama berbulan-bulan menanti gerhana tiba akan segera terbayar. Rindu akan negrinya, keluarganya, dan suasana yang tidak akan ia temukan di dunia manusia.
Tanpa ia sadari, sebongkah hati tengah uring-uringan tak siap dengan kata 'melepas pergi'. Perjanjian yang ia buat dan anggap remeh itu pada akhirnya menyudutkan perasaannya sendiri.

"Kau yakin akan pulang malam ini?" Melvin menatap tak percaya, menanti harapan tentang berubahnya keputusan Corie.

"Bangsa jin sepertiku tak akan merubah keputusannya. Tidak ada dalam kamusku," jawabnya memberikan penegasan.

Pria malang itu hanya bisa menghela napas gundah. Sejak awal, ia sudah melakukan kesalahan dengan membawanya kedalam hidupnya. Berniat memanfaatkan, namun pada akhirnya perasaannya yang menjadi taruhan.

"Ahh, aku sudah tak sabar menanti gerhana bulan. Cepatlah muncul!" Corie berseru antusias membuat hati si pria semakin berdenyut ngilu.

Salahkah jika pria itu menaruh hati kepada makhluk yang berbeda dengannya?

Ini salah! Namun, bukankah cinta itu buta?
Melvin tidak bisa mengendalikan perasaannya sendiri.

Sejujurnya bukan hal itu saja yang membuat hatinya cemas. Masalah intinya terletak pada gadis itu.

Bagaimana perasaan gadis itu untuknya?

"Corie...."panggilnya pelan nyaris berbisik.

Si empunya nama menoleh ke samping kirinya, mendapati Melvin yang tersenyum sendu.

'Tolong, jangan perlihatkan wajah itu dihadapanku.'

"Aku ingin mengatakan sesuatu."

'Aku sudah tahu. Jadi tolong jangan katakan apapun.'

"Kalau kau mengatakan hal yang manusiawi, itu tidak akan masuk di akalku," bantahnya seraya memalingkan wajah.

Pria itu seketika bungkam. Belum juga mengatakan apapun, sudah ditolak duluan.

"Jangan mengharapkan hal yang mustahil!"

"Carilah wanita yang lebih muda darimu." Corie terkikik geli mengingat usianya.

"Aku tidak akan membiarkanmu mengatakan apapun, karena–" Ia menoleh kembali kepada Melvin.

"Aku tidak ingin perasaanku terbalas."

Deg!!!

Melvin tertegun mendengar pernyataan gadis itu. Di saat bersamaan, bulan mulai memancarkan sinar kemerahan secara bertahap.

Tanpa diduga pria itu menyunggingkan senyuman terbaiknya lalu berdiri.
"Cepat! Kau ingin segera pulang, bukan?" Katanya sambil bersiap membaca mantra pembuka gerbang menuju alam di mana Corie tinggal.

Gadis itu membalas senyuman Melvin yang menular itu. Bukankah level cinta sesungguhnya adalah melepaskan? Ya, begitulah prinsip Corie.

Ia amat mencintai pria yang baik hati itu. Dia hanya ingin yang terbaik untuknya. Menurutnya, Melvin bisa berbahagia tanpa harus bersamanya. Karena ia sadar bahwa dari cara Tuhan menciptakannya pun mereka tidak ditakdirkan untuk bersama.

"Jaga dirimu. Jangan sampai makhluk-makhluk jahil itu mengganggumu," pesan Corie untuk terakhir kalinya.

"Cepatlah! Atau portal ini akan segera lenyap bersama surutnya gerhana." Pria itu sekuat tenaga mempertahankan portalnya agar tetap terbuka lebar.

Tanpa banyak bicara lagi, Corie segera masuk ke portal itu. Sesaat kemudian ia lenyap seiring memudarnya portal itu.

Kini hanya tersisa keheningan yang menemani pria yang patah hati. Cinta pertamanya, telah pulang ke negri asal. Negri antah berantah yang tak seorangpun manusia bisa menjamahnya.

Ia masih memandang nanar tempat di mana Corie menghilang itu. Mendadak hatinya terasa kosong, seperti ada yang hilang dan membuat luka yang menganga.

Rasanya dingin dan perih.

Tanpa diduga, sebuah benda menggelinding dan terantuk di kakinya. Benda itu berkilau diterpa sinar rembulan yang kembali bersinar kuning terang memantulkan warna amaranth.

Warna yang selalu terpancar dari sinar matanya. Ia pun segera memungut benda itu dan memasukkannya ke dalam saku jas yang ia kenakan.

'Sebuah tanda perpisahan kah?'

'Atau kenang-kenangan?'

'Aku akan selalu menyimpannya.'

The end.

Antologi KACAU✅Where stories live. Discover now