46. Another Sleeptalk

2.4K 157 39
                                    

"Nanti aku pulang agak malem, Say." Boruto memotong daging masakan Sarada sembari duduk di atas kursi makan. Sarada masih berdiri di meja dapur, menyiapkan salad untuk ia makan.

"Jam berapa?" Sarada menoleh, binar mata sendunya membuat Boruto berdeham tak enak.

Akhir-akhir ini Boruto semakin sibuk. Kandungan Sarada sudah menginjak bulan ke delapan sekarang. Boruto bisa merasakan kalau Sarada tak rela ia pulang malam.

Tapi harus bagaimana lagi? Kalau ia tidak bekerja, uang juga tidak akan datang.

"Jam sembilan, mungkin?" Boruto menelan ludahnya pahit, memasukkan daging yang ia potong ke dalam mulut. Sarada menghela napas panjang, membawa mangkuk berisi salad buah dan meletakkannya di meja.

"Harus banget lembur, ya?" tanya Sarada tak rela. Boruto memalingkan mukanya, ia tak sanggup melihat raut sedih sang istri.

"Atau kamu mau ikut aku ke kantor, Say?" Boruto menawarkan, ia merasa tak enak. Akhir-akhir ini Sarada memang selalu mengekorinya kemana-mana. Menunggunya sampai malam hari.

Boruto tahu, wanita itu kesepian. Sendirian di rumah, tidak bisa pergi jauh-jauh dan lama-lama karena alasan kesehatan. Pasti rasanya tersiksa.

"Aku di rumah aja, lah, Bolt. Jangan pulang malem-malem banget, ya," pesan Sarada, menyendok potongan buah naga ke mulutnya. Boruto mengangguk.

"Doakan, biar bisa pulang cepat."

"Aku selalu doa, kok." Sarada mengunyah stroberinya, menatap Boruto yang kini juga menatapnya balik.

"Atau kamu mau ke rumah Mama, Say? Aku beberapa hari ini bakalan pulang malem terus, nanti kamu sendirian," usul Boruto, pria itu tak yakin.

Ia ragu.

Ia khawatir.

Ia cemas.

Kandungan Sarada sudah menginjak bulan ke delapan. Dengan segala penyakit yang wanita itu derita, menjadikan Sarada seolah boneka rapuh yang bisa hancur kapan saja.

Boruto hanya takut, ia tak bisa menemani Sarada sampai akhir.

"Enggak usah, Bolt. Aku di rumah aja. Lagian di rumah banyak kerjaan, kok. Abis ini aku mau masukin cucian," lontar Sarada, mencoba menenangkan Boruto. Alih-alih tenang, pria itu malah mendelik.

"Jangan capek-capek, Sayang. Cuciannya kita laundry aja 'kan bisa."

"Terus aku mau ngapain di rumah kalo gitu? Gabut," keluh Sarada, membuat Boruto meringis.

Iya, ya. Sarada yang terbiasa sibuk. Terpaksa tidak melakukan apa-apa dan hanya berdiam diri di rumah pasti membuat wanita itu stres.

"Maaf, nanti aku coba cari waktu." Boruto menunduk, ia jadi tak enak. Bagaimanapun, ia juga ingin yang terbaik bagi Sarada.

Namun semesta memang belum mengizinkan saja.

"Eh, enggak. Enggak apa-apa, Bolt. Kamu kerja aja yang rajin. Aku suka di rumah, kok," balas Sarada, mencoba tersenyum dan menghapus raut tak enaknya tadi.

"Lagian aku 'kan emang harus istirahat," tambahnya, walau ada rasa getir di dada.

Sarada tersenyum pahit. Ia sebenarnya tidak terlalu suka berdiam dengan sepi di rumah tanpa ada hal yang harus ia kerjakan. Tetapi berlama-lama berdiri saja, kakinya tidak kuat. Lemas. Bagaimana, lah?

Di sisi lain, Sarada juga paham. Situasi ini juga tidak mudah bagi Boruto yang sedang merintis bisnisnya. Membangun kembali sebuah bisnis jelas bukan hal yang gampang. Butuh waktu dan tenaga ekstra, sebagai istri Sarada hanya bisa mendukungnya seperti ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 18, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Unpredictable Marriage | BoruSaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang