7 | Peringatan

344 92 0
                                    

Genangan air memerciki boots Irene kala ia melangkah. Aroma khas petrikor menguar, padahal sebelumnya hujan tidak mendatangi wilayah ini. Namun, jalan raya basah, kota terlihat lembap, dan manusia yang masih berkeliaran bisa dihitung dengan jari.

          Sekitar dua jam yang lalu, gedung-gedung dalam lingkup pemerintahan didatangi lagi oleh para pendemo. Tuntutan mereka masih sama: pengembalian hak-hak serta subsidi untuk rakyat miskin, jaminan keamanan warga, dan satu hal paling penting adalah penyediaan vaksin serta obat penawar kinetoksis. Mereka menuntut karena sudah belasan tahun tidak ada pergerakan yang berarti dari pemerintah. Sedikit kerusuhan ini terdokumentasi dalam berita siaran malam yang saat ini sedang ditayangkan pada videotron sebuah gedung apartemen. Para pendemo membubarkan diri setelah petugas keamanan menyiramkan air dalam jumlah besar ke kerumunan itu.

          Irene memperhatikan dari kejauhan. Rasanya sangat kontras melihat kejadian pada videotron itu, dengan kondisi Waekerta malam ini yang tampak masih seperti sediakala—teratur, aman, dan kondusif. Pemerintah setempat betul-betul tanggap dalam menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan estetika kota. Namun, Irene tak tahu apakah ini layak dipuji. Ia sedikit merasa ada kesombongan, merasa pemerintah Buru hanya memedulikan distrik yang menurutnya pantas dikembangkan saja sementara Kawasan Lindung diabaikan. Ia merasa mereka lambat menanggapi kebutuhan yang mendesak.

          Irene menggeleng-geleng, tak mau memikirkan itu lebih lama. Ia berbelok di persimpangan ruko dan cahaya neon dari gedung-gedung yang dilewatinya mulai menipis. Sambil tetap melaju dengan stagnan, sorot matanya mengawasi sekitar. Gesekan boots dengan jalan beraspal serta suara berkeresak dari bungkusan plastik yang dibawanya terasa nyaring. Hawa dingin yang menelusupi tengkuk membuatnya sontak memeluk erat bungkusan plastik itu.

          Gadis berkacamata ini mengembuskan napas lega saat hampir sampai di kompleks perumahannya. Di sana cukup ramai, dan mulai diterangi dengan banyak cahaya neon lagi. Beberapa berkerumun di depan videotron yang menempeli bagian belakang tubuh halte. Langkah Irene terhenti kala layar raksasa itu menayangkan korban kinetoksis stadium akhir. Perut Irene bergejolak. Ia sedikit mual.

          "Sekarang di mana-mana berita yang bikin resah yang di-up ke media. Kerusuhanlah, viruslah, kebakaranlah ...."

          Sesaat Irene mengira ada seseorang yang mengajaknya bicara. Tapi setelah menengok, orang itu bersama satu anak, seorang cyboarg, dan mereka baru saja datang. Irene sedikit bergeser ke kiri agar tidak terlalu dekat dengan mereka. Ia agak canggung dengan orang asing.

          "Kapan, ya, videotron di Buru—seenggaknya di Waekertalah, bisa kayak dulu lagi?" Si wanita berambut ikal yang tergerai panjang ke punggung melanjutkan perbincangan. Dari yang semula fokus ke videotron, netranya beralih pada anak yang masih dirangkulnya, dengan tinggi sebahu. "Dulu, sebelum kinetoksis nyerang bumi pertiwi, videotron itu bisa jadi sarana relaksasi warga, lho. Tayangan-tayangannya banyak yang nyenengin—video musik, iklan berbentuk drama, komedi singkat .... Sayang, ya, kamu belum pernah ngerasain."

          Irene diam-diam mendengarkan dengan saksama. Ia baru tahu kalau ternyata dulu tayangan videotron semenyenangkan itu. Namun, ia bimbang. Kinetoksis muncul pertama kali di Buru sekitar lima belas tahun yang lalu. Sekarang umurnya dua puluh. Berarti seharusnya ia cukup bisa mengingat hal kecil itu, tetapi yang ia alami justru sebaliknya.

***

          "Persediaan subsidi operasi cyboarg semakin menipis. Pemerintah menyatakan bahwa ketersediaan tubuh pengganti hanya tersisa 20% dari total pendaftar. Ini hanya akan bisa digunakan selama satu pekan kedepan, sementara penderita kinetoksis makin bertambah dan vaksin serta obat penawar masih belum ditemukan. Masyarakat diha"

          Bensan segera mematikan TV sebelum pembawa berita menyelesaikan ucapannya. Selagi napas terembus dengan berat, ia empaskan punggung ke sofa dan meletakkan satu lengan di atas sandaran. "Padahal tadi di jalan kita sudah ketemu sama berita semacam ini. Sekarang di rumah, kenapa masih dijejelin juga sih? Apa nggak ada siaran lain?"

          "Mungkin hiburan dikesampingkan dulu karena kondisi makin kacau."

          "Tapi kalau begini caranya bisa-bisa bikin imunitas warga makin turun dong. Bisa-bisa memengaruhi mental, bikin mereka makin takut dan egois."

          Istrinya, Emola, mengangkat bahu tak paham. Dari arah dapur ia bawa nampan beserta tiga cangkir teh hijau hangat. "Oh, ya, dengar-dengar, yang ikut demo hari ini bukan cuma warga dari Lamahang. Siang-siangnya justru ada warga kita yang bakar gudang buat ngasih peringatan." Ia letakkan nampan di atas meja dan memberikan satu cangkir ke hadapan Bille. "Saya takut Distrik 10 ini bakal jadi Kawasan Lindung yang selanjutnya."

          Bensan berdecak. "Ini propaganda bangsa asing entah siapa yang mau menjajah kita lagi. Di saat-saat begini, seharusnya masyarakat bekerjasama membangun kekuatan terbaik, membuat benteng perlindungan."

          Bille menyesap teh dengan khidmat sambil mendengarkan percakapan kedua rekannya. Kandungan asam amino dalam teh meningkatkan hormon serotenin sehingga ia masih bisa berpikir jernih meski sebetulnya sudah cukup lelah—karena kegiatan yang padat ditambah keadaan Buru yang makin ricuh. Sedari tadi diam, akhirnya ia angkat suara. "Mereka begitu karena sifat alamiah manusia adalah egoisme di mana ingin mengutamakan hak-haknya terpenuhi. Lagipula, belum ada komando dari pusat mengenai alternatif yang harus kita lakukan dalam bencana yang makin merebak ini. Pergerakan mereka juga nihil." Ia taruh kembali cangkir di atas tatakan. "Lusa, saya ada pertemuan dengan Pak Bupati. Semoga nanti berakhir dengan kabar yang baik."

          Ketiga orang di ruang tengah itu tetiba dikejutkan dengan sensor pintu yang berdenting kemudian daun pintu bergeser terbuka. Mereka serempak menoleh, mendapati Irene yang tak kalah terkejut. Pada ambang pintu ia mengerjap bingung. Bungkusan plastik masih terengkuh di dada, sembari ia melepas boots dan menaruhnya rapi di rak sepatu. "Oh, ada Pak Bille, ya .... Malam, Pak." Dengan canggung ia berucap.

          "Kenapa dia keluar?" Bille setengah menggertak saat mengatakannya. Bensan dan Emola menunduk, tak ada yang berani angkat bicara. Mereka takut jika rektor BIU itu sudah murka. "Kalian abaikan perintah saya? Kan saya sudah bilang keadaan di luar itu lagi berbahaya buat dia, dan kalian tahu persis kondisinya melebihi saya!" Volume yang dikeraskan itu membuat pasangan suamu-istri di hadapannya berjengit di kursi mereka.

          Sedikit takut, Irene mengambil alih situasi. Pelan ia masuki ruang tengah. "Maaf, Pak. S-saya yang salah. Bunda dan Ayah padahal sudah bilang kalau nanti ada petugas binatu yang mengantarkan barangnya ke sini. Tapi saya abai. Jadi selagi mereka pergi, saya ... saya cuma pengin tahu giman—"

          "Buat apa? Rasa penasaran itu tidak ada gunanya jika membahayakan nyawa kamu."

          Irene bungkam. Ia menunduk berusaha menyembunyikan diri di balik poni serta kacamata tebalnya.

          Satu telapak tangan Bille terangkat mengusap wajah berharap amarah turut luntur darinya. Ia sesap teh lagi demi meredam emosi. "Biar bagaimana pun, saya juga yang salah sudah nyuruh kamu bertanggung jawab atas pembersihan benda itu." Ia gerakkan lengan memberi gestur agar Irene duduk pada sofa di sebelahnya. "Silakan, duduk dulu."

          Emola beringsut memberi perhatian penuh setelah Irene duduk. "Kamu nggak kenapa-kenapa, 'kan? Nggak ketemu sama orang yang mencurigakan?" Ia rengkuh bahu Irene, meniliki tiap bagian tubuhnya. Gadis berkepang itu menjawab dengan satu tarikan senyum manis dan cukup membuat sang ibu merasa lega.

          "Waekerta sudah mulai tidak aman. Sementara waktu kamu tinggal di asrama BIU dulu, jangan kembali dulu ke sini."

          Irene menatap resah kedua orangtuanya. "Gimana sama Bunda dan Ayah?"

          "Kami bisa jaga diri. Kamu jangan khawatir." Bensan menenangkan. Ia berikan senyum terbaik meski enggan melepas anak semata wayangnya.

          "Mereka masih ada peluang untuk aman di sini." Bille menoleh, menatap lekat Irene dan gadis itu menelan berat salivanya saat kalimat ini terucap, "Kalau kamu tidak, Ren."

KATASTROFEWhere stories live. Discover now