5 | Anggota Baru

445 112 0
                                    

Syuuut ....

          TAK!

          Anak panah menancap sempurna pada lingkaran merah di tengah-tengah target. Jarak papan itu kisaran 70 meter dari posisi pemanah, dan tadi Karen melakukannya sambil melakukan aksi yang belum pernah diperlihatkan oleh pemanah mana pun. Ia berlari menyerong dari arah pintu. Melompat, membuat putaran di udara, dan saat berada di posisi atas, ia memanah dengan kecepatan angin tanpa terlihat, lantas mendarat dengan posisi berlutut.

          Keyle dan Rana di belakangnya terpaku atas aksi itu. Mereka bertepuk tangan dengan mimik kejut di wajah.

          "Sumpah, ini ... ini ...." Keyle seakan tak mampu melanjutkan ucapannya. Kemudian netra berbinar seolah habis melihat idolanya di depan mata. "Ini keren banget!" Sementara Rana masih termangu di sampingnya.

          "Kalian jangan terlena dengan betapa keren cara memanahku tadi." Karen memutar tubuh demi menghadap kedua temannya. Ia perhatikan satu per satu ekspresi mereka. Keyle dengan rambut lurus tergerai melewati bahu, mengenakan bandana yang menyingkap rambut dari dahi, tersenyum riang menatapnya. Sedangkan Rana, gadis berambut panjang yang juga dikuncir kuda seperti Karen namun tanpa poni, menatap Karen dengan mimik lebih kalem. Mereka sama-sama mengenakan sangkarut yang merupakan seragam khusus Fakultas Strategi Pertahanan.

          "Inti yang mau kutegaskan adalah, fokus," lanjut Karen. "Semua pekerjaan memang harus dilandasi dengan satu hal itu. Tapi dalam bidang pertahanan, khususnya panahan, kalau kalian nggak bisa mencapai titik fokus maka habis sudah. Kalian bakal mati di medan pertempuran."

          Keyle bergidik. "Kok pakai bawa-bawa mati sih, Ren?"

          Sudut bibir Karen tertarik. Tersenyum tipis. "Memangnya kamu kira masuk bidang pertahanan buat ngecengin cowok-cowok berotot doang?" Keyle tertegun seakan tertangkap basah. "Sebagai mahasiswa Bidang Pertahanan, kita dipersiapkan untuk jadi garda terdepan saat Indonesia dalam bahaya. Istilahnya, kita ini militer berbasis perguruan tinggi."

          Keyle meneguk saliva. Setelahnya ia melotot. "Aku setuju sama pernyataan yang terakhir." Kemudian pelipisnya terasa berkedut. "Tapi ... yang pertama itu ... itu ...." Selagi mengerucutkan bibir, kakinya menghentak. "Aku kan bukan Tisha! Enak aja ngatain kayak gitu!"

          Karen mengulum tawa. Ia paling suka kalau temannya ini sudah merajuk seperti anak kecil. Baginya itu hiburan tersendiri. Tak peduli gertakan Keyle, netranya mengarah pada Rana yang sedari tadi hanya diam. Sambil mengacungkan busur, ia berkata, "Ayo, Ran. Lanjut?"

          Rana mengangguk tanpa ekspresi. Ia raih busur serta sekotak anak panah dari meja kayu di pinggiran lapangan, lalu berderap menghampiri Karen.

          Keyle mendengus di tempatnya. Ia bersedekap dan tanpa sengaja ekor matanya menangkap seplastik roti di atas meja. Roti yang tadi dibawa Karen ke sini dan belum tersentuh. Ia terkikik licik. Kebetulan sekali perutnya sedang kosong. Ia ambil satu langkah ke sisi meja yang lain, melompat duduk ke atasnya, lantas menyambar roti yang tampak pasrah. Cinnamon bercampur raspberry memenuhi lidah dalam satu gigitan. Tidak buruk, gumam Keyle dalam hati, karena sebetulnya ia lebih menyukai roti dengan satu rasa saja—menurutnya lebih natural. Sesekali Keyle perhatikan penjelasan Karen pada Rana. 

          "Boleh minta tolong contohin lagi nggak, Ren? Pakai gaya pemanah yang paling dasar."

          Karen setuju. Menurutnya juga harus dicontohkan lagi dengan lebih detail. Maka ia raih satu anak panah dari punggung. Ia letakkan pada karet busur, menariknya, memfokuskan satu tatapan pada satu titik kuning dengan jarak 30m. Ia sudah siap melepaskan anak panah itu. Namun tetiba ....

KATASTROFEWhere stories live. Discover now