1 | Tempat Rahasia

3K 278 15
                                    

Kayeli, Buru, 2135

          Sayap gagak berkelepak. Mendarat mulus pada dahan Akasia, lima belas meter jauhnya dari pintu gerbang sebuah bangunan besi raksasa. Dari pintu itu, terdapat halaman kecil sebagai transisi antara dunia luar yang terang-benderang dengan bagian dalam yang tampak begitu gelap.

          Sang gagak memiringkan kepala demi menilik bangunan besi di hadapannya. Seluruh permukaan sudah usang. Karat menyelimuti tiap-tiap bagian, persis seperti bangunan tua yang lama ditinggalkan. Seperti gudang penyimpanan bahan-bahan material, yang sudah lama tidak difungsikan lagi.

          Namun, saat gagak itu menengadah, sang bangunan menjulang begitu tinggi. Tinggi dan besar, sangat besar, bagai istana pada negara dengan sistem pemerintahan monarki. Arsitektur khas kerajaan pun melengkapi figurnya di beberapa bagian.

          Gagak berpikir, sejak kapan ada bangunan seperti itu di Pulau Buru? Sejak kapan ada di sini?

          Saat sedang asyik mengira-ngira, derungan kasar dari pintu yang terbuka membuatnya mengoak histeris. Sayapnya berkelepak-kelepak atas kejutan dari suara bising. Pintu tua itu sedang dipaksa untuk terbuka. 

          Mata gagak berkilat. Seorang gadis keluar dari sana, dari pintu besar nan tua yang berhasil terbuka dan telah ditutup kembali. Gadis itu bergerak menjauh. Tatapan gagak masih betah mengiringi. Hingga hampir lima puluh meter setelah ditinggalkan, perlahan-lahan bangunan besi tadi memudar bagai hologram. Lantas menghilang dari pandangan, menyisakan berhektar-hektar lahan yang kini terisi kembali dengan pepohonan.

          Sang gagak berkoak lagi. Lebih nyaring. Lebih dipenuhi dengan hasrat yang menggebu. Dibentangkannya sayap lebar-lebar, bersiap untuk terbang, lalu menukik tajam mengejar anyir yang tetiba menyeruaki indra penciuman.

          BATS!

          Belum sempat menerjang mangsa, gagak dikejutkan dengan mata pedang yang lebih tajam dan berkilat daripada miliknya sediri. Tubuhnya terbelah. Darahnya melayang sebelum akhirnya kedua bagian tubuh jatuh terkapar ke tanah. Paruh dalam kondisi terbuka. Mata menyalang akan kenyataan yang terjadi, karena justru ajalnyalah yang terenggut.

          Bercak darah mengotori wajah si pelaku pembunuhan gagak itu. Pedang masih tergenggam secara horizontal di depan wajah, memperlihatkan pupil miliknya yang bergerak-gerak resah. Ia jatuhkan tangan ke samping tubuh, menghela napas panjang. Lantas berbalik arah, melangkah gontai menuju danau buatan dekat Benteng VOC.

           Gadis itu menciduk air. Agak terasa hangat saat bersentuhan dengan telapak tangan dan dibasuhkan ke wajah. Wajar. Suhu di sekitaran Kayeli akhir-akhir ini mencapai 36 derajat selsius. Padahal pohon-pohon masih terlihat seperti sedia kala: hijau, rimbun, dan segar. Hutan-hutan masih terlihat sangat asri.

          Pemikiran itu membuat sang gadis tersenyum miris.

          Ia mendongak, menatap lurus pada Benteng VOC—atau lebih tepatnya bangunan tua bersejarah yang dulu sempat menjadi benteng pertahanan kolonial Belanda—yang berdiri angkuh di seberang danau. Orang-orang percaya bahwa bangunan itu adalah warisan sejarah. Hanya sebatas itu. Tidak ada yang tahu bahwa hampir dua dekade ini, benteng itu telah difungsikan kembali. Dipugar, diperbesar ukurannya hingga menjadi sebuah markas milik suatu organisasi, tetapi hanya bisa dilihat oleh orang-orang tertentu. Organisasi ini, tentu memiliki hubungan darah dengan para anggota VOC.

          Dan tujuan mereka pun sama.

          Namun, bedanya, kali ini fokus incaran mereka bukan lagi terhadap sumber daya alam Indonesia.

KATASTROFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang