14 | Perjalanan Pulang

222 64 6
                                    

Pintu ditutup rapat. Sebelum beranjak dari asrama, Irene memastikan dulu apakah kamarnya sudah terkunci dengan baik. Setelah itu ia menuruni anak tangga. Ia menuju perbatasan antara asrama dengan Gedung I. Sore ini sudah diputuskan akan pulang ke rumah orangtuanya, menginap setidaknya dua malam. Hampir lima hari ia tidak berkunjung ke sana karena kesibukan di kampus-juga larangan rektor yang tidak memperbolehkannya berada di Helermuri sementara waktu. Jadi, tentu sangat wajar jika sekarang ia sudah sangat rindu dengan mereka.

          Tadi siang Irene coba meminta izin pada rektor. Tanpa disangka Bille mengizinkan secara mudah, tanpa perlu banyak bantahan, dengan alasan saat ini kondisi kota sudah lebih kondusif. Tapi tetap saja, Irene harus diberi pengawasan. Rektor berumur 57 tahun itu memberikannya stiker kotak kecil yang dapat menempel kuat seperti chip di bawah telapak tangan, persis bersebelahan dengan urat nadi. Stiker itu akan mengirimkan sinyal pada android penjaga di BIU jika Irene berada dalam bahaya. Sebagian kecil atau salah satu dari mereka akan berteleportasi untuk segera mendatangi lokasi Irene.

          Iseng, Irene mengelus-elus stiker itu dengan jari telunjuk. Rasanya sedikit gatal dan sakit, mungkin karena pertama kali menggunakannya. Sebelumnya pernah beberapa kali Irene tak sengaja melihat staff BIU mengenakan stiker sejenis saat akan pergi dinas. Dan terus digunakan secara kontinu karena mungkin memang tidak ada keluhan.

          Tungkai Irene sudah menginjaki lantai marmer di depan pintu utara Gedung I. Ia menunggu sedan yang sudah dipesan khusus untuk datang menjeputnya. Menyerong ke arah tenggara, ada beberapa motor besar terparkir, dan satu orang sedang mengenakan jaket serta pelengkap berkendara lainnya.

          Irene membetulkan posisi kacamata agar dapat melihat lebih jelas. Pemuda di sana memutar tubuh, mereka bersitatap, dan sontak Irene mengalihkan netranya ke bawah. Ia yakin itu Ray. Sangat yakin jika dilihat dari postur tubuh yang besar dan tinggi-terlihat besar karena kekar, juga sorot mata yang bagi Irene cukup ramah. Tapi tetap saja, ia selalu canggung jika bertatapan dengan laki-laki terlebih yang seperti Ray.

          Ia jadi teringat sikap pemuda itu tadi siang. Pemuda itu sudah menolongnya dari Rosalind, mengembalikan mukanya dan membuat Rosalind malu, ditambah memberinya makanan dan tak mau dibayar. Sungguh suatu perbuatan yang tak disangka-sangka padahal pada pertemuan pertama mereka terjadi insiden yang disebabkan oleh kelalaian Irene dan sewajarnya membuat Ray murka. Di saat ia kira Ray akan membalas, justru pemuda itu menolong.

          Pemuda itu baik dengan cara yang unik.

          Dan Irene merasa tak tahu berterima kasih jika ia memalingkan wajah begini.

          Maka, ia menoleh lagi, bersamaan dengan deruman mesin hyperbike Ray yang sudah dinyalakan. Ray menaiki hyperbike-nya. Menekan gas beberapa kali. Lalu, ia melaju kencang.

          Irene menatap kepergian Ray dengan tarikan napas panjang. Ini adalah manifestasi dari rasa lega. Ia lega, karena tidak harus berhadapan dengan Ray lagi. Tidak untuk kali ini karena masih belum terbiasa dengan keberadaan Ray di dekatnya.

          Irene membuka barphone untuk mengecek waktu. Sudah sangat sore dan sedan pesanan rektor belum datang juga.

          Lencana BIU di dada kiri Irene menyala. Ia segera menutup barphone dan menekan lencana untuk mengangkat telepon masuk. Terpampang nomor tak dikenal. Nomor resmi.

          "Selamat sore. Kendaraan pesanan Anda akan segera datang sekitar sepuluh menit lagi. Mohon maaf melebihi waktu yang ditentukan karena ada sedikit masalah dalam perjalanan. Mohon kesediaannya untuk menunggu."

KATASTROFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang