9 | Misi Rahasia

334 81 1
                                    

Tungkai Ray mengambil langkah lebar-lebar.

          Di antara gerombolan mahasiswa yang bergegas menuju pintu keluar Gedung I, ia melawan arus tanpa peduli umpatan serta lirikan sinis dari orang-orang yang tak sengaja disenggoli tubuh kekarnya. Ia tak mau mengalihkan fokus dari satu orang di depan-gadis yang juga sama terburu-buru seperti dirinya. Dengan jarak yang sudah diperhitungkan ini, ia yakin gadis itu tak akan mengetahui bahwa dirinya sedang dikuntit.

          Sementara itu di kejauhan, Irene beserta tiga orang temannya, berjalan secara beriringan. Mereka masih memperbincangkan tugas kelompok dari mata kuliah yang baru saja selesai. Sesekali diselingi tawa atas candaan receh, tapi Irene hanya menanggapi dengan sedikit senyum karena tak begitu bisa berbaur.

          Lalu, ia melihat sosok itu. Ray. Berjalan cepat ke arahnya. Setidaknya itu yang dipikirkan Irene jika ditilik dari sorot mata pemuda itu. Ray mengenakan kembali jas cokelat muda yang semalam ia laundry, seakan tak memilki pakaian lain selain jas itu. Irene mengira-ngira apa yang ingin dilakukan pemuda itu padanya. Apakah ingin menuntut? Tapi ia tidak siap. Ia merunduk, berusaha menyembunyikan diri di balik kacamata serta poni, memosisikan diri ke belakang tubuh temannya.

          Jarak di antara mereka makin menipis. Jantung Irene tanpa komando berdentum kuat bahkan hampir-hampir melukai dadanya, dan terasalah angin itu, angin yang menandakan bahwa Ray melintasi dirinya. Wajah Irene perlahan terangkat bersamaan dengan langkah Ray yang tak kunjung berhenti.

          "Eh, lihat nggak cowok yang tadi lewat?"

          "Kayaknya anak baru."

          "Ganteng banget, ya."

Irene tak menghiraukan ucapan teman-temannya. Ia menoleh ke belakang, menatap bingung punggung Ray yang semakin menjauh.

***

          Dengungan mesin terdengar di sekitaran ruang besi yang Karen dekati. Ray bersembunyi di balik dinding, agak jauh dari sana. Ia layangkan pandangan ke sekeliling. Tempat ini dipenuhi panel-panel logam dengan banyak simbol, persis gua purbakala versi futuristik. Karen luput mengenalkan wilayah ini padanya saat penjelajahan BIU kemarin. Atau, memang sengaja tidak diberitahukan. Kalau memang benar begitu, berarti ini adalah wilayah penting, rahasia, yang tidak boleh sembarangan orang tahu. Spekulasi Ray makin diperjelas tatkala matanya menangkap tulisan besar-besar di atas pintu. 'Ruang Pengoperasian BIU.'

          Karen sedang menempelkan telapak tangan pada mesin biometrik dekat kusen pintu. Suara operator terdengar setelahnya, memberitahukan bahwa si pemilik sidik berhasil membuka kunci ruang. Karen memutar wajah ke belakang, memastikan tidak ada siapa pun yang mengekori. Kemudian, pintu besi yang berbentuk spiral itu terbuka, memberikan jalan baginya, dan tertutup dengan cepat setelah ia berada di dalam.

          Ray tak mau gegabah dengan mendekati ruangan itu. Ia angkat telunjuk kanan, berusaha fokus pada satu titik yang melingkar-lingkar di belakang kuku, lantas merapalkan sesuatu. Perlahan matanya menutup. Saat dibuka kembali, pupil matanya membesar dan berwarna putih.

          Ray julurkan telunjuk ke arah pintu ruangan itu. Asap tipis menguar dari ujung jemari, beterbangan selayaknya diarahkan oleh angin. Dan, menempeli sisi pintu spiral yang terbuat dari besi. Mulutnya diam, sudah tidak merapalkan mantra lagi. Sekat pelindung ruangan itu seakan tersingkap dalam penglihatannya. Asap mantra seolah-olah membuat lubang bundar, memberinya akses untuk melihat keadaan di dalam sana.

          Tanpa diduga, isi dari ruangan itu terdiri dari banyak roda bergerigi. Roda-roda itu berputar searah jarum jam, saling berhubungan satu sama lain. Di pojokan ruang terdapat tombol-tombol serta beberapa pengait.

KATASTROFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang