12 | Kawasan Lindung - Lamahang [2]

250 66 0
                                    

Perlu memutar otak kesekian kali sampai akhirnya Karen lolos izin di penjagaan gerbang kedua. 

          Ia kira hanya satu penjaga di gerbang pertama saja yang diganti oleh orang baru, dari tempat lain, tapi ternyata gerbang kedua lebih menyusahkan karena semua penjaga di sini tak ada yang mengenalinya. Yang artinya, Karen mesti menjelaskan dari awal tentang kedatangannya ke Lamahang dan kunjungannya ke Karantina Blok IV. 

          Selagi menginjaki dedaunan kering yang berserakan, Karen merutuk dalam hati. Ia sudah benar-benar dibuat kesal. Ia sempat dibentak-bentak oleh penjaga tak tahu adat yang mungkin lebih pantas disebut sebagai preman, padahal ia sudah menjelaskan dengan detail dan baik, sampai-sampai ia harus berbaik hati mengulang penjelasan dan bersusah payah menekan sulutan emosi agar tak mengundang keributan.

          Panas mulai memudar ketika Karen memasuki Blok I. Matahari sembunyi-sembunyi memancarkan cahaya di antara gedung-gedung bertingkat yang tampak tak berpenghuni, kusam, cat mengelupas di sana-sini, serta banyak bekas gosong. Pepohonan kurus berdiri lemah menemani tanaman rambat yang menjadi pelengkap tampilan gedung. 

          Karen mendongak. Ia mendengar beberapa suara anak kecil berlarian di lantai atas, disusul suara seorang laki-laki dewasa yang mendumal. Ia tersenyum miris. Amat disayangkan para anak itu berada di tempat yang tidak layak huni ini. Tempat yang tidak sesuai untuk perkembangan mereka. Tempat yang suatu saat nanti, mungkin akan benar-benar jadi kota mati. Namun, jika dipikir-pikir lagi, setidaknya mereka yang sedang berlarian itu masih punya keceriaan tersendiri. Atau bahkan mungkin masih punya harapan untuk memperbaiki keadaaan serta kerusakan di sini. Setidaknya, mereka bukan penderita kinetoksis.

          Memasuki Blok II mulai ada suara alat-alat serta orang  dewasa yang sedang bekerja. Karen menoleh untuk memperhatikan mereka sambil tetap terus berjalan. Enam orang di sana sedang berkutat dengan menara listrik—tiga manusia dan tiga cyborg. Para cyborg menyebar di tingkatan menara, sementara para manusia mengawasi di bawah sambil sesekali mengutak-atik sesuatu seperti jaringan listrik. Karen berpikir, mungkin cyborg yang berada di sana merupakan sisa tahanan penjahat kelas kakap yang masih hidup. Dulu memang sempat ada aturan untuk menjadikan kriminal sebagai cyborg yang diprogram khusus patuh pada pemerintah demi melaksanakan pekerjaan berbahaya. Tanpa digaji, tanpa tunjangan, karena mereka hanya dijadikan alat. 

          Aturan itu dihentikan semenjak mewabahnya kardiokinesis. Tentu saja dana cyborg dialihkan ke beberapa penderita terpilih, dan mereka yang sudah diberikan kesempatan hidup kedua dengan menjadi cyborg tentu tidak akan dibiarkan melakukan pekerjaan berbahaya itu.

          Setidaknya, itu yang saat ini sedang Karen pikirkan dan sudah sekian lama ia asumsikan. Akan tetapi, dengan segera anggapan itu dipatahkan, dengan kemunculan sekumpulan orang dari jarak dua gedung di depan. Karen terpaku. Seorang cyborg diseret paksa oleh tiga petugas berbadan besar dilengkapi alat pelindung diri berwarna hitam. Sementara di belakang mereka, dua orang cukup berumur memohon-memohon dengan langkah yang tentu tak dapat menyeimbangi para petugas itu. 

          "Jangan ambil anak saya!" Wanita yang sedari tadi sudah menangis kini tersungkur. "Saya mohon ... ambil saya saja kalau kalian mau ...."

          Laki-laki di sampingnya turut menjatuhkan diri, mecoba menopang tubuh si wanita, seraya mendongak berharap petugas ber-APD itu mau mendengarnya. "Tolong, Pak. Dia masih muda. Dia udah dikasih kesempatan kedua buat hidup walaupun nggak senormal dulu. Tolong jangan biarin dia—"

          "Semua cyborg ditakdirkan buat jadi budak pemerintah." Satu kalimat tegas dengan suara bariton itu menikam kedua orang yang masih duduk bersimpuh. "Ini sudah tercatat dalam perjanjian sebelum para penderita kardiokinesis bersedia dijadikan cyborg. Jangan kalian pikir kami melakukan pelanggaran HAM. Kalian sudah menandatanganinya dengan sukarela." Pasangan suami-istri berjarak beberapa meter di hadapannya tercenung. Hanya air mata yang menetes turun sebagai respon dari keterkejutan mereka. "Kalau bukan cyborg yang kami ambil, apa kalian mau nawarin diri jadi kelinci percobaan obat penawar virus?" Ia mendecih dan tersenyum sinis. Meski tak terlihat karena tertutupi APD, tapi tetap terdengar dari nada suaranya yang merendahkan lawan bicara. "Tadi kalian sok berani bilang mau gantiin anak ini. Padahal apa yang bisa diharapin dari orang tua macam kalian? Baru masuk ruang percobaan aja bisa-bisa langsung mati di tempat."

KATASTROFEWhere stories live. Discover now