22 | Kecamuk dalam Sunyi

140 66 5
                                    

Ucapan Rosalind masih terus terngiang bahkan sampai pagi kembali menyapa.

          Di muka Danau Rana, danau yang namanya membuat Karen kembali sedih, ia merengkuh lutut, merenung. Apa iya dia yang bisa menyudahi teror dari organisasi TDH? Teror kinetoksis. Pembantaian masyarakat sipil. Teror dari kekuatan sihir. Menghadapi satu orang dari kalangan mereka saja ia tak mampu. Atau lebih sederhana dari itu, ia bahkan tak mampu menolak tawaran kerjasama dari Theo, tepat tiga tahun lalu. Saat itu ia memang sangat putus asa lantaran kondisi sang nenek semakin parah. Yang ia inginkan hanyalah obat penawar dari orang yang sudah dipastikan memilikinya karena orang itulah yang menyebarkan wabah. 

          Karen merasa bodoh. Selama ini ia hanya setengah-setengah melakukan tugas. Ia tidak sepenuhnya mencaritahu tempat penyimpanan Kristal Velositi serta lahan cengkih hidroponik. Justru sengaja untuk tidak mencaritahu. Alhasil, tujuan utamanya bekerja dengan Theo tak terealisasi. Meski dikatakan memiliki tujuan lain pula yaitu mencari kelemahan organisasi tersebut, tetapi sampai kini masih belum didapatkan.

          Karen benar-benar tidak tahu lagi apa rencana yang harus dilakukan selanjutnya. Pikirannya buntu. Untaian benang-benang kusut seakan meliliti otaknya. Karen teringat dengan neneknya yang mungkin terancam dimusnahkan. Ia begitu takut sampai memeluk lutut kuat-kuat.

          Gemerisik dari arah belakang membuat punggungnya menegak, terkesiap. Ia tajamkan pendengaran dan mendapati injakan semak-semak itu semakin dekat. Langkah itu terdengar seperti milik seorang penguntit yang sedang mengendap. Tanpa menoleh dan melakukan gerakan sedikit pun, ia menjeling pada senjata—busur panah, pedang, tombak, pistol—yang tersampir di pelana kuda, memperkirakan senjata mana yang akan ia gunakan sekarang. Sementara Rocky si kuda putih itu masih asyik merumput di sampingnya sambil sesekali meminum air danau. 

          Karen sudah memutuskan. Sepersekian detik kemudian, dengan gerakan cepat, ia meraih tombak lantas dilemparkan lurus menuju sasaran. Tombak melesat laksana peluru angin. Dan secepat itu pula, terasa debaran keras dalam dadanya. Tangan yang semula berada di udara kini terjatuh lemas. Ia terperanjat.

          "Maaf ... aku udah bikin kamu kaget, ya?"

          Keterkejutan Karen berubah jadi perasaan kesal lantaran Vian sesantai itu berujar. "Sudah dua kali," geramnya. "Dua kali kamu bertingkah macam penguntit dan bikin aku hampir-hampir bunuh kamu."

          Vian menanggapinya dengan rentetan kata yang menyiratkan maaf lagi. Lebih tulus, lebih lembut, lebih memberikan ketenangan.

          Karen melirik kesal ke arah lain. Ia balikkan tubuh, dan kembali duduk, kembali menatap danau, mencoba mengabaikan jenis kekuatan apa yang Vian lakukan tadi. Pemuda itu tak terkena lemparan tombak bukan karena ia menahan searangan seperti yang terjadi pertama kali, melainkan karena suatu kemampuan entah apa yang saat ini Vian miliki. Tombak yang dilempari Karen, menembus pemuda itu layaknya dilemparkan pada objek tak kasat mata.

          "Temanmu bilang, kamu lagi nenangin diri di sini. Jadi kususul, karena aku juga sudah cari kamu sejak dua hari lalu." Tersirat kelegaan dari nada bicara Vian. Meski ia tahu Karen akan baik-baik saja, ia tetap khawatir, karena biar bagaimana pun Karen adalah seorang wanita.

          "Makasih udah khawatirin aku," sahut Karen datar. "Tapi baiknya kamu berinisiatif buat nggak mengganguku dulu kalau tau aku lagi butuh ketenangan." Kemudian ia merasa ucapannya terlalu sinis dan tak seharusnya tidak berkata demikian pada orang yang sudah menaruh kekhawatiran padanya. Ini hal yang sepatutnya ia syukuri di saat orang lain membencinya. Menginginkan ketiadaannya. 

          Karen menelan saliva resah. Sebetulnya ia senang Vian ada di sini. Sekarang ia khawatir setelah ucapan tadi, Vian akan turuti lantas segera pergi. 

KATASTROFEWhere stories live. Discover now