24 | Puncak Pertempuran

230 65 0
                                    

Tertatih-tatih Ray menuju ke tengah-tengah ruang. Ia gerakkan sepasang tungkai itu untuk menghampiri Karen dan Vian, tetapi sorot tajamnya tak lepas dari Theo di atas podium. Orang itu, pamannya—tidak, orang itu bukan lagi pamannya yang dulu—mengurungnya dalam kekangan berbalut api. Beberapa luka bakar melukai otot-otot Ray. Darah kental mengalir pada sudut bibir. 

          "Paman bilang aku berani?" ujarnya sinis sembari mengelap darah pada sudut bibir itu dengan punggung tangan. Seperti Theo, ia juga menggunakan Bahasa Prancis. "Bagaimana mungkin aku bisa menghormati orang yang sudah hampir membunuhku?" Ia meludah kasar, membuang sisa-sisa darah yang tersisa dalam mulut. "Jangan harap. Sejak kejadian itu aku sudah tidak sudi lagi bersikap hormat padamu. Kau membunuh orang-orang tak berdosa, mengorbankan keluargamu sendiri demi ambisimu yang omong kosong itu. Percayalah, hidup selayaknya orang normal akan membuatmu jauh lebih bahagia."

          "Kau pengkhianat memang lebih pantas mati bersama manusia-manusia rendahan ini!"

          Theo mencengkeram tangan kirinya lebih kuat, membuat benda bermuatan listrik yang meliliti tubuh Irene semakin mencekik. Gadis itu berteriak kesakitan.

          "Paman, hentikan!"

          Ray hendak memutuskan pergelangan tangan kiri Theo, tetapi kali ini mantranya tidak mempan. Justru persendian siku kanan sang paman berangsur-angsur pulih. Bersamaan dengan itu, sesuatu melayang-layang di langit-langit ruangan lalu berkumpul membentuk bola besar berwarna hitam pekat. Satu cabangnya menancap di ujung kepala Irene, membuat gadis itu tak sadarkan diri. Sementara cabang lainnya menempel di ubun-ubun Theo.

          Secret Experiment X. Tidak salah lagi. Ray sudah kembali mengingat kejadian di masa lalu, ketika bulatan besar dari sekumpulan asap meledak di wilayah I Distrik Namlea. Ray mengingatnya setelah Theo membicarakan hal itu, saat ia terkurung dan diselingi tawa bengis sang paman. 

          Belasan tahun lalu, Theo nekat menggunakan kristal jenis lain yang ia curi dari gedung IPTEK Namlea dan ternyata gagal. Namun sekarang, ada seorang gadis, Irene, yang ternyata merupakan cyborg dengan salah satu penyusun organ tubuhnya merupakan bongkahan Kristal Velositi. Ini berarti, kemungkinan besar proyek Secret Expreiment X akan berhasil. 

          Ray teringat sesuatu. Penasihat Theo, Rana, menyabotase sistem inti pusat di ruang pengoperasian BIU dengan mantra sihir, sehingga lima bulatan asap di lantai dasar menara BIU tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Lima bulatan asap itu sudah ia ketahui bernama coretrax. Dapat melemahkan kekuatan sihir bahkan mengurung penyihir dari jarak ratusan kilometer.

          Langit-langit bergetar. Puing-puing berjatuhan dari tengah ruang. Vian menjulurkan tangan yang terbungkus sarung keperakan, menjadikannya tameng yang menjaga kepala Karen dan membawa Karen berlari ke tepi. Ray mengekor dengan gerakan cepatnya. 

          "Apa coretrax masih belum hidup?" tanya Ray setengah berbisik tetapi sedikit terburu-buru ketika mereka sudah berlindung dekat pilar. 

          "Kami nggak bisa lenyapkan mantra sihir yang menutup akses sistem inti pusat," jawab Vian disela napas terengah. "Kecuali kamu tau caranya. Atau punya ide selain manfaatin coretrax."

          Ray berpikir sejenak. "Pinjam barphone kalian. Tolong sambungkan ke siapa saja yang berjaga di BIU."

          Tanpa banyak bertanya, Vian segera mengeluarkan barphone-nya. Beruntung masih tersimpan baik dalam saku. Ia mengetuk sebuah fitur tautan internal. Sedikit memakan waktu sampai tautan itu terbuka, lalu Vian mengetikkan kode angka. Setelah menekan tombol 'submit', tautan itu tersambung ke alat komunikasi salah satu kawan yang bertugas menjaga ruang pengoperasian BIU. 

KATASTROFEWhere stories live. Discover now