8 | Kelas Pertama

330 76 0
                                    

Ray bersiul. 

          Langkah pantofelnya menggema di lorong khusus yang menyediakan banyak ruang laboratorium. Ia gerakkan belahan jas di tengah dada, bermaksud merapikan tampilannya. Tadi pagi jas ini dikembalikan oleh rektor dan terlihat amat bersih seperti baru. Jadi, Ray langsung mengenakannya lagi, berniat memberi kesan necis di awal perjumpaan kelas pertamanya. 

          Jas dilengkapi dengan lencana BIU dan ia perbaiki posisinya di dada sebelah kiri. Kemarin lencana itu sempat kena tumpahan mocktail. Ray tidak tahu apakah setelahnya rusak atau tidak, karena stelan jas yang dikenakannya itu segera diminta oleh Bille begitu ia sampai di ruang rektor. Yang jelas, saat ini lencana itu berfungsi dengan baik. Karena kalau tidak, ia tidak mungkin bisa menembus gerbang BIU yang dilengkapi banyak sensor serta laser yang kabarnya sangat berbahaya jika dilewati tanpa memiliki akses. 

          Selagi mencari ruangan yang dituju, jemari Ray menyisir sisi rambut. Ini terasa agak lengket karena habis diberikan pomade. Meski hari ini akan bertugas selayaknya laboran, baginya berpenampilan menarik adalah hal yang wajib. 

          RV-107. Kode ruangan itu sesuai dengan yang tertera pada ID card yang tergantung di leher Ray. Ia tempelkan ID card itu pada sistem pemindai. Dan pintu besi pun bergeser terbuka. Sambil memasukkan tangan ke dalam saku celana, ia gerakkan tungkai perlahan. Kepalanya agak mendongak memperhatikan bagian dalam dari ruangan ini. Pada langit-langit dipenuhi jalur pipa serta tangga besi. Dan di sekelilingnya, banyak ruang-ruang kecil berlapis aluminium serta baja.  

          "Kamu si anak baru itu, ya?"

          Langkah Ray terhenti. Pemuda itu menoleh ke kanan, ke asal suara tadi. Pada arah timur laut, di antara ruang penyimpanan cairan dan jendela besar yang mengarah ke pemandangan luar gedung, seseorang memberikan senyuman ramah padanya. Namun jika dicermati lagi, senyuman lebar itu lebih cocok disebut sebagai cengiran yang aneh. Ditambah dengan kacamata yang tampaknya cukup tebal, poni melewati alis, serta bagian belakang rambut menyentuhi tengkuk, tampilan pemuda itu sudah sangat sesuai dengan seorang maniak ilmu yang sangat canggung saat berkomunikasi dengan orang lain. Ia baru saja selesai mencuci tangan. Kemudian melangkah canggung, mendekati Ray.

          "Kenalin, namaku Vian." 

          Rasa geli agaknya bergejolak dalam perut Ray. Ia berusaha mengulum tawa, sebisa mungkin tidak membuat si lawan bicara tersinggung meski ia tak pernah memedulikan hal itu sebelumnya. Sekarang ini ia masih mahasiswa baru, masih harus jaga sikap. Tapi kata 'aku' serta cara bicara Vian tadi, betul-betul bikin Ray kewalahan

          "Saya Ray." Ia kepalkan tangan di depan mulut lantas berdeham. Senyum tak luput terpatri sebagai manifestasi dari tawa yang nyaris keluar. "Pak Ramon, apa ada di dalam?"

          Vian menyengguk. Sebelum membiarkan Ray memasuki wilayah ini lebih dalam lagi, buru-buru ia beri penjelasan singkat mengenai biosafety 18) dan biosecurity19). Setelahnya tak luput ia meminta Ray untuk menanggalkan jas cokelat—yang sangat terlihat formal dan sama sekali tidak sesuai jika dikenakan di laboratorium, menggantinya dengan jas putih khusus lab yang banyak tersedia pada dinding depan wastafel. 

          Ray bersedekap. Jemarinya mengelus-elus dagu seakan memikirkan hal yang rumit. 

          "Mmm ... kenapa, Ray? Apa penjelasanku ada yang bikin bingung?" Vian mengelus tengkuk canggung. "Baiknya sih, kamu segera ganti jas, terus cuci tangan sampai bersih, Ray. Itu aja dulu. Sebentar lagi mata kuliah Virologi mulai. Katanya, Pak Ramon masih mau ngajarin teori-teori dasarnya dulu. Tapi kita nggak mulai pelajarannya dari awal lagi. Mudah-mudahan ... kamu bisa ngikutin."

KATASTROFEWhere stories live. Discover now