37. bukan perpisahan

2.4K 269 60
                                    

Pagi itu cerah berawan, matahari menyinarkan sinarnya namun awan menjadi penghalang panas menjadikan udara tidak begitu menyengat. Hawa ini adalah hawa kesukaan Giselle, udara tidak panas, namun tetap cerah.

Giselle jalan berdampingan dengan Jenan yang menyeret kopernya, dengan Nando dan Mikaela di depannya dan juga Karin Yogi di belakangnya. Ada juga Ais, Jian, dan Ecal juga di belakang mereka.

Sekelompok pemuda itu mengikuti tiga orang dewasa yang memimpin jalan, ada Ibun, Bunda Nando, dan Ayah.

Giselle menoleh ke samping menatap Jenan, cowok itu tidak berekspresi apapun. Tidak sedih, marah, atau kesal, hanya datar. Melihat itu membuat rasa bersalah Giselle baru keluar, padahal kemarin-kemarin gadis itu yakin ia dan Jenan bisa menjalani hubungan jarak jauh selama enam bulan, yang memang menurutnya sih sebentar.

Tangannya menggapai lengan Jenan yang menganggur, membuat tubuh keduanya berdekatan. Jenan sempat melirik ke gadis itu, lalu tanpa kata ia diam-diam mengecup puncak kepala Giselle cukup lama.

“Ck,” decakan kecil keluar dari mulut Yogi yang berjalan bersampingan dengan Karin di belakang keduanya.

Karin yang tadinya memperhatikan sekitar jadi menoleh mendengar decakan yang keluar dari mulut pacarnya itu. Tidak tahu alasannya apa.

Karin menaikkan alis tanda bertanya menatap Yogi, si cowok hanya membalas dengan gelengan yang berarti bukan apa-apa. Padahal mah aslinya dia begitu karena rada sensi aja ngeliat Jenan bermesraan sama Giselle di depan Karin, ya... walau dia tahu Karin gak bakal mempermasalahin itu sih.

Mereka akhirnya tiba di terminal penerbangan F tempat keberangkatan Giselle dan Nando terbang ke Singapore.

Orang Tua Giselle dan Nando berhenti, menyuruh anak-anak yang mengikuti mereka untuk duduk lebih dahulu karena masih ada beberapa waktu lagi sebelum dua kakak beradik yang sudah layaknya kembar itu untuk check-in.

“Mas gabawa minum ya? Bunda beliin ya?” tawar Bunda Nando.

Suara perempuan itu sangat lembut dan pelan, namun meskipun begitu Giselle juga dapat mendengarnya.

Nando mengangguk, “Iya boleh, air mineral aja Bun,” jawab Nando.

Perempuan itu mengangguk anggun lalu justru menoleh pada Giselle, “Kalo adek mau minum apa?” tanya nya, menawari juga pada Giselle, memanggil gadis itu dengan panggilan yang pernah ia sematkan pada Giselle waktu kecil.

Giselle yang masih sedikit canggung menjawab gugup, “Teh ko—”

“Samain aja kaya Nando Mbak, minuman kesukaannya masih air putih kok. Ayo beli sama aku,” sela Ibun, suaranya kontras banget sama suara Bunda yang lemah lembut.

Hm, Giselle gak ngerti mau ketawa apa kesel.

Dua wanita itu akhirnya menjauh, pergi membeli minuman untuk kedua anaknya.

Giselle dan Nando otomatis saling menatap, dengan kompak keduanya langsung sama-sama mengedikkan bahu.

“Ibu kalian mana?” tanya sang Ayah yang baru mendekat entah darimana.

“Beli minum,” jawab kompak Giselle dan Nando, kompak melulu hidup mereka.

Sang Ayah hanya mengangguk, lalu kembali menjauh entah kemana.

Ecal yang berekspresi sedih di lebay-lebaykan datang mendekat pada Giselle yang masih aja di tempeli Jenan, meskipun sekarang cowok itu tidak memeluki Giselle posesif seperti semalam, ya sadar tempat aja lagian bapaknya Giselle adalah Dekan Fakultasnya, kalo diliat kan bisa mampus Jenan.

“Mau apa lo?” tanya Jenan langsung bereaksi melihat Ecal mulai mendekat ke Giselle.

“Ah elah baru jadi pacar aja posesip banget si lo, orang mau poto doangg, buat aplot igs nih!” solot Ecal membalas membuat lainnya menoleh.

tweny's unillusion ✓Where stories live. Discover now