Gaya Tidak Sebanding dengan Oikawa Tooru

30 3 0
                                    

Fandom: Haikyuu!! © Haruichi Furudate
Character: Oikawa Tooru
Author: rainssance

· · ─────── · ─────── · ·

Oikawa tidak bermaksud untuk berteriak sekeras itu. Ia juga tidak bermaksud untuk melompat ke balik meja kantin dan bersembunyi di sana—Ibu Kantin memelototinya, tapi peduli amat.

Barusan, dia cuma menyandarkan setengah berat tubuhnya ke kabinet kaca, merayu Sang Penjaga Kantin untuk membolehkan Oikawa berhutang sekali lagi. (Uang sakunya habis akibat membeli jersey baru). Dan dari setengah jam waktu istirahat yang kalian miliki, kamu harus datang di saat yang sama.

Oikawa tahu harusnya ia tetap melanjutkan kegiatannya, mungkin melambai kearahmu dan melemparkan satu-dua gombalan—dia tahu kamu akan memutar bola mata, lalu membalas dengan berisik, deh atau jijik, Tooru, tapi tidak masalah—soalnya cowok itu suka mendengar suaramu.

Alih-alih, Oikawa Tooru mengorbankan tatanan rambut sempurnanya untuk berjongkok di bawah meja kayu dan berdoa agar Ibu Kantin tidak menendangnya keluar sampai kamu selesai membeli. Ia menahan napas saat mendengar suaramu menyapa ibu-ibu berkepala empat itu—dan menahan bersin, sebenarnya, bawah meja itu berdebu.

"Bu, baksonya lima, sama batagornya dua, dong! Nanti tolong antar ke meja situ, ya." Kamu menunjuk meja panjang dekat lapangan, tiga temanmu terlihat asyik bergosip.

"Tambah es teh satu," celetuk gadis di sebelahmu. "Aku enggak bawa minum."

"Siap. Tapi nunggu bentar, ini ada yang lagi sembunyi di bawah meja, Ibu susah ambil toples gulanya," ujarnya, menyenggol Oikawa dengan ujung sandal. "Sembunyinya pas kamu datang, lho, Neng. Mantannya, ya?"

Yang dibicarakan membulatkan matanya, buru-buru bergerak untuk bilang ke Ibu Kantin kalau dia bukan mantanmu, kalian bahkan tidak pernah pacaran. Naas dalam prosesnya, kepala Oikawa membentur meja dan ia jatuh ke lantai—satu tangan digunakan untuk mengelus mahkota rambutnya.

Sial.

Seisi kantin berhenti untuk menoleh. Mendapati kalau Sang Raja Besar, Kapten Klub Voli, Cowok Terpopuler Sesekolah, terjerembab di lantai dengan ponsel dan uang receh bertebaran.

"Tooru?" tanyamu, setengah tidak percaya—setengahnya lagi penasaran.

Cowok itu cepat-cepat berdiri, meraih ponsel dan barang tebaran lain seadanya, menepuk debu jauh-jauh dari jaket dan celananya. Oikawa yakin mukanya sudah semerah sambal kantin sekarang.

"Ya Gusti. Ternyata beneran kenal, Neng?"

Temanmu berbisik di telinga, "Dia serem, [Name]. Perlu kupanggilin sekuriti?"

Atau mungkin tidak berbisik—karena setelahnya Oikawa melambaikan tangan dengan panik.

"Jangan! Enggak usah." Cowok itu maju selangkah, cuma untuk temanmu mengacungkan buku paket sejarah yang dibawanya bagai pedang bermata dua. "Plis."

"Santai, Ara. Jangan dirusakin bukunya, kita masih ada ujian," katamu, memegang lengan gadis itu dan mengambil buku di tangannya dengan lembut. "Dan enggak, dia bukan mantanku."

Kamu bisa mendengar helaan lega dari beberapa cewek yang masih memperhatikan kalian. Oikawa tidak, omong-omong, dia sibuk memperhatikanmu; dengan seragam putih abu-abu, senyum miring dan kilat jail di matamu—ia tahu kamu berencana mengungkit-ungkit momen ini untuk selama hidupnya, seolah-olah kejadian ini sendiri belum cukup memalukan—dan angin sejuk di siang hari dan riuh di kantin dan buku sejarah terjepit di lenganmu.

Karena sekarang, Oikawa merasa kamu terlihat sangat, sangat cantik. (Bukan berarti kamu tidak cantik sebelumnya, tapi kali ini gen keturunan dewi yang ada padamu seolah berlipat ganda.)

Ara menyadari apapun itu di antara pandangan Oikawa padamu, dan temanmu itu memutar bola mata. Dasar bucin.

Ia mengambil es teh—yang ternyata sudah selesai dibuat, kelihatannya memang Ibu Kantin punya kekuatan super—lalu menepuk pundakmu dan berkata, "Kutunggu di meja, jangan lama-lama. Dan bawa balik buku sejarahku."

Kamu mengangguk singkat, kembali menoleh ke cowok di depanmu. "Jadi, keberatan buat bilang yang tadi itu apa?"

"Aku cuma mau bayar contekan buat soal gaya Lorentz yang kemarin." Oikawa menggaruk tengkuknya. "Kamu biasanya beli batagor, jadi ... jadi inginnya kubelikan itu."

"Kalau mau beliin gadis mah, bawa uang dong, Mas," celetuk Ibu Kantin. "Utang mulu."

Cowok itu merengek, "Ya 'kan batagor doang, Bu. Nanti juga saya bayar, suer."

"Enggak. Pacaran di tempat lain sana, antreannya keganggu, tuh."

"[Name] bukan pacar sa—"

"Udah, deh. Batagornya lain kali aja, daripada kamu utang," ujarmu, menekankan kata 'utang' dan membuat Sang Kapten Voli kelihatan makin putus asa. "Tapi seriusan, enggak dibayar pun bukan masalah."

Setelahnya, kamu harus benar-benar menyeret Oikawa pergi dari sana, sebelum ia merengek lagi dan ikut-ikut memalukanmu di depan Ibu Kantin. Gaya negosiasinya itu, mirip ibu-ibu komplek yang lagi menawar harga di tukang sayur, keras kepala.

"Tetap bakalan kubeliin," katanya. "Sabtu ini aku ada turnamen. Ada yang jualan batagor enak di dekat stadion, datang, ya?"

Kamu memiringkan kepala sedikit, berusaha terlihat polos padahal bibirmu mulai tertarik membentuk senyum jahil, lagi. "Kamu ... barusan ngajak aku kencan?"

Dan Oikawa merasa mukanya memanas, lagi. Suaranya berupa gumaman ketika ia bilang, "Boleh aja kalau mau kamu anggap begitu."

Dengan senyum kemenangan, kamu maju selangkah lebih dekat dengannya—diam-diam bersyukur karena cowok itu terlalu gugup untuk menyadari rona yang terbentuk di wajahmu sendiri. Lalu, dalam satu gerakan berani, kamu berjinjit, membuat mata kalian selisih sejengkal.

Kamu bisa merasakan kalau Si Penyuka Roti Susu itu menahan napas, mata coklatnya menatapmu dengan emosi yang campur aduk—gugup, kalem, mungkin sedikit benci karena kamu membuat jantungnya merasa seperti ia habis latihan voli, dan suka.

Oikawa menutup mata saat dia merasakan bibirmu menyapu telinga kirinya, Sang Raja Besar rasanya tidak akan bisa melupakan hal yang kamu katakan saat itu;

"Ada debu di rambutmu, Tooru."

· · ─────── fin ─────── · ·

LokalWhere stories live. Discover now