Devan Annoying

16.2K 1.5K 124
                                    

Sarah berulang kali menggerakan jarinya di atas tas yang sejak tadi ia pangku. Matanya sesekali melirik Devan yang fokus menyetir. Sejak sekembalinya dari restoran tempat ia reuni, tak ada satu kalimat pun terlontar dari bibir keduanya.

Sarah ingin mengatakan sesuatu tapi ia enggan karena tiba-tiba dirinya merasa canggung. Entah mengapa setelah perlakuan Devan tadi ia jadi malu untuk membuka topik pembicaraan lebih dahulu.

"Baper?"

Sarah menghentikan gerakannya. Alisnya saling tertaut sambil melihat Devan yang baru saja berujar demikian.

"Maksudnya?"

"Kirain kamu baper karena tadi saya datang ke reuni kamu tiba-tiba, terus rambut kamu yang saya elus elus, memang ga baper?"

Devan melihat istrinya sekilas. Dilihatnya kerutan di wajah Sarah yang semakin tercetak jelas. Sedetik kemudian Sarah berdecak di kursinya. Ia kira Devan melakukannya dari lubuk hati yang paling dalam. Sekarang, melihat suaminya itu mengatakan hal tersebut Sarah jadi ragu.

"Sorry, saya bukan tipe orang yang gampang baper."

Devan menyipitkan matanya. Meski begitu pandangannya tak beralih dari jalanan "Masa? Tapi saya rasa kamu baper."

"Terus kalo bapak ngerasa begitu saya harus baper beneran?"

Devan tak lagi menjawab ucapan Sarah. Lebih baik ia diam sebentar supaya tak ada macan mengamuk di dalam mobil, pikirnya.

"Pulang nanti jangan lupa keramas."

"Maksudnya?"

"Kamu udah berapa hari gak keramas?"

Sarah meneguk ludahnya pelan. Sungguh bukannya ia jorok atau sejenisnya masalahnya memang sudah empat hari ini terhitung sejak terakhir dirinya keramas ia belum lagi mencuci rambutnya itu. Sibuk di rumah kemudian sibuk di kantor dan banyak hal lainnya.

"Emm itu tiga hari."

"Pantes aja berminyak, saya heran itu tadi rambut orang apa gorengan." Ucapannya barusan sama sekali tak benar, karena nyatanya ia hanya bercanda berniat meledek istrinya itu.

"Oh gitu? Jadi rambut saya berminyak? Gampang sih, besok sarapan masak aja sendiri, baju siapin aja sendiri, keperluan lainnya siapin sendiri, saya gada waktu karena mau urus badan saya sendiri!"

Sarah bersedekap dada. Memalingkan wajahnya keluar jendela. Ia jelas tak terima dengan ejekan Devan tadi. Bisa bisanya suaminya tersebut memperolok dirinya setelah semua kebutuhan pria itu dirinya lah yang mengurus. Mau menangis saja lah kalau begini.

"Bukan… maksud saya rambut Satria tadi yang kaya gorengan. Rambut kamu mah halusnya ngalahin karpet bulu di kamar mandi kita. Wanginya aja udah kaya bunga kuburan."

Tangan Devan yang hendak menyentuh pucuk kepala Sarah ditepis kasar wanita tersebut.

"Maksud saya wanginya ga ilang-ilang kaya bunga kuburan."

Sarah hanya melirik Devan sekilas. Ia mengindahkan kata kata suaminya itu hingga mereka sampai di rumah. Sarah memilih berjalan mendahului Devan.

Sarah berjalan ke arah dapur, sedangkan Devan memilih langsung menuju kamar untuk mandi.

Tepat setelah Devan selesai mandi Sarah baru menginjakan kakinya di kamar. Di liriknya sebentar suaminya itu yang sedang berdiri di depan cermin kamar mandi mereka. Sarah memicingkan matanya saat tanpa sengaja menangkap pemandangan yang sudah sering kali ia lihat setelah menikah dengan bosnya itu.

"Handuk abis di pake digantung! Kenapa masih aja di taro di sofa, kalau ga dijemur terus jamuran bapak mau ngilangin jamurnya?"

"Saya memang ga bisa ngilangin jamurnya, tapi, kalo kursinya saya bisa."

"Boros."

"Ya kalau gak gitu kapan uang saya habis?"

"Yaudah buat saya aja!"

Devan mengerutkan keningnya. "Yang kemarin kurang?" Devan yakin sekali semenjak ia memberi istrinya itu kartu kredit tanpa batas Sarah sama sekali belum menggunakannya. Masa iya masih kurang.

Merasa sudah terpojok Sarah lalu pergi dari hadapan suaminya itu sembari menghentakkan kakinya kesal. Menurutnya, baik ia sendiri yang salah atau memang Devan lah yang bersalah ia harus tetap kesal kepada suaminya itu.

Sarah kembali ke dapur. Menuang segelas air minum kemudian menenggaknya tandas.

"Kok bisa orang-orang duitnya banyak." Gumamnya sambil menarik kursi lalu duduk di atasnya. Tangannya meraih satu roti tawar diatas meja kemudian mengisinya dengan selai stroberi.

"Gue kerja mulu bukannya kaya malah tipes."

"Itu udah takdir, kamu gak akan kaya sebelum nikah sama saya."

Sarah memutar bola matanya malas. Sepertinya memang benar ucapan Devan barusan. Matanya melirik sebentar menatap Devan. Dilihatnya suaminya itu yang minum sembari sibuk menatap layar ponsel. Pandangannya semakin menusuk kala Devan melihat ponsel sembari tersenyum tipis.

Sarah berdecak pelan. Diminumnya kembali air di atas meja dengan kasar. Ingin bertanya tapi gengsi hingga kemudian suara Devan semakin membuatnya kesal.

"Udah putih, tinggi, kurus, adem lagi kalo deket dia."

"Siapa?!"

"Apanya?"

"Cewe mana yang barusan bapak omongin?"

"Mana ada cewe, orang maksud saya kipas angin."

Sarah mengerutkan keningnya tak mengerti. Hingga sedetik kemudian ia paham dengan maksud suaminya itu setelah Devan menunjukkan apa yang sejak tadi ia lihat.

"Apasih kamu cemburu?"

Gumam Devan kemudian menarik kembali ponselnya dari hadapan sang istri. Ia kemudian duduk dihadapan Sarah. Lagi-lagi menghiraukan keberadaan wanita itu dan sibuk melihat ponsel miliknya.

"Ini gak kalah menarik sih, udah putih, berisi, pinter masak lagi."

Devan kembali menggumam kalimat yang menurut Sarah ambigu saat terdengar ditelinga. Dipikirnya siapa lagi kalau bukan wanita yang Devan lihat setelah pria itu menyebut kalimat pintar memasak dan berisi.

Dengan cepat tangan Sarah menyambar ponsel milik Devan. Membuat sang empu mengerutkan kening dengan senyum tipis seperti sudah tahu hal itu akan terjadi.

"Apalagi, orang maksud saya rice cooker."

"Kurang kerjaan."

Cibir Sarah sembari menyodorkan ponsel Devan di atas meja. Sembari berdehem Sarah mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Devan mengedikan bahunya. Kembali menatap layar ponsel tak berniat membuka obrolan. Beberapa kali Sarah nampak melirik ke arah suaminya itu. Bibirnya sejak tadi mengumpat dalam diam merutuki Devan yang tak kunjung mengajaknya mengobrol.

Dalam hati Sarah berujar, jika sampai segelas air yang akan ia minum Devan tak kunjung membuka suara ia akan memilih pergi dari sana.

Diraihnya gelas di atas meja. Sesekali berdehem berniat menarik atensi Devan dari ponsel milik pria tersebut. Tapi dengan sengaja Devan justru semakin menyibukkan diri dengan ponselnya itu.

"Uhuk!"

"Uhuk!"

Devan beralih menatap Sarah. Tahu begini sejak tadi saja ia pura-pura batuk, pikirnya.

"Kenapa? Batuk?"

Dengan sigap Sarah langsung menganggukan kepalanya antusias. Tidak batuk sih, tapi iyakan saja lah, pikirnya.

Devan diam sebentar. Menatap Sarah kemudian turun melihat gelas yang wanita itu pegangi sejak tadi.

"Yaudah minum, tuh air udah di pegang daritadi."

Usai mendengar ucapan Devan, Sarah sontak meletakkan gelasnya dengan kasar. Membuat bunyi antara gelas dan meja saling beradu dengan keras. Kakinya kemudian melangkah meninggalkan Devan. Bibirnya komat kamit menirukan ucapan Devan tadi.

Sedangkan di tempatnya Devan hanya menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum.

STRANGE BOSS Where stories live. Discover now