Ke khilafan Sarah

15.3K 1.6K 66
                                    

PENCET BINTANG KALO MAU DAPET PACAR! KOMEN KALO MAU DAPET SUGAR DADDY, HEHE.


Sarah melangkahkan kakinya cepat menyusuri lobi. Tak banyak yang ia lakukan selain sekadar menyapa balik karyawan yang menyapanya. Yah, mungkin karena Devan lah sekarang ia harus membiasakan diri disapa semua orang.

Berjalan dengan santai memasuki kantor sekarang Sarah sampai pada satu titik. Dimana saat melihat seorang Arya melewatinya ia sudah tak kagum lagi. Sarah lalu menolehkan kepalanya ke belakang. Menatap ke arah punggung seseorang yang pernah membuatnya menahan senyum saat tiba-tiba berpapasan di jalan.

Dulu Sarah sangat ingin menjadi pasangan Arya. Seperti seseorang yang mengidolakan orang lain kemudian berhayal menikahinya, Sarah juga seperti itu. Tapi saat rasa kagum telah sirna Sarah pun sekarang enggan jika ditawari menikah dengan Arya. Lagipula sekarang dia memiliki Devan. Sebenarnya tak ada perbedaan mencolok di antara keduanya. Sama-sama tampan dan kaya raya, hanya sifatnya saja yang membedakan.

Ah, ngomong-ngomong soal Devan. Kekesalannya sudah hilang sejak beberapa hari yang lalu. Bahkan hanya lewat beberapa jam ia sudah melupakan apa yang terjadi dan masih aktif bekerja.

"Sarah." Menolehkan kepalanya spontan Sarah lalu membalikan tubuhnya. Sembari menatap Dinda Sarah berpikir kalau-kalau perempuan tersebut hendak membicarakan pernikahannya dengan Devan mengingat Dinda adalah mantannya.

"Bisa bicara sebentar?" Kira-kira seperti itulah keduanya berbicara sebelum akhirnya terlempar ke sudut ruangan di kantin perusahaan. Usai pelayan menyajikan dua gelas kopi keduanya masih belum terlibat percakapan kembali.

"Selamat." Dinda berujar sembari mengaduk kopi miliknya.

Menyunggingkan senyumnya Sarah mengerti ucapan selamat tersebut diberikan atas perihal apa.

"Untuk apa?" Pukul saja Sarah yang berlaga tidak tahu. Hey, ini hanya sebatas keformalan saja!

"Pernikahanmu, kudengar kau akan menikah."

"Ahh benar."

"Aku lucu bukan?" Dinda berkata sembari tertawa kecil "Bagaimana bisa aku meminta orang yang akan menjadi istrinya untuk mendekatkan ku dengan calon suaminya sendiri."

Sarah tersenyum paksa. Jujurly, ah maksudnya jujur ia tak suka dengan suasana melow seperti ini. Rasanya tak cocok dengan perawakannya yang bahkan dulu sempat di daftarkan TNI AL oleh ayahnya sendiri.

Sungguh aneh ayahnya itu, saat Satria di daftarkan les tata boga ia justru di daftarkan jadi abdi negara. Bukan tak mau, jadi abdi negara itu bagus tapi juga liat liat orangnya dong! Jadi TNI itu harus orang yang disiplin dan tidak malas malasan. Sedangkan Sarah, mau lapernya setengah mati pun kalau males keluar kamar ya tidak akan makan. Sebelum usus dua belas jari miliknya mengerut serta melintir menimbulkan rasa perih Sarah tidak akan makan apalagi bangkit dari kasurnya.

"Kalau sejak awal aku tahu Devan akan menikah harusnya sejak dulu ku percepat untuk menemuinya." Ah benar! Lupakan tentang Sarah, sekarang waktunya memahami maksud ucapan Dinda barusan.

"Tidak." ujar Sarah terdiam sesaat "Kau tak bisa mendahului takdir. Sekalipun waktu terulang kau tetap akan datang terlambat. Any way karena memang kau bukan untuknya."

Dinda menatap perempuan di depannya itu. Hingga cukup lama mereka saling terdiam sebelum akhirnya helaan nafas terdengar dari mulut Dinda sendiri.

"Well sekali lagi aku ucapkan selamat, aku pergi." ujar Dinda setelah sebelumnya menepuk pundak Sarah pelan sembari tersenyum.

Entah karena pesan tersirat dari ucapan Dinda tadi atau memang udaranya yang dingin. Tiba-tiba Sarah jadi merinding berada di kantin yang sepi pengunjung itu. Baru saja berdiri untuk pergi seseorang tiba-tiba menekan pundaknya yang langsung membuat dirinya duduk kembali.

STRANGE BOSS Where stories live. Discover now