Bunting

9.8K 1K 33
                                    

Niat Sarah yang semula ingin mengunjungi rumah kedua orang tuanya gagal. Sebab, Devan laki-laki itu mendadak muntah muntah di jalan seperti orang sehabis mabuk perjalanan.

Lemah, letih, lesu, loyo, lunglai, semua itu Devan rasakan hanya karena barusan memuntahkan kembali es cendol yang sempat ia minum tadi.

Sarah yang mengambil alih kursi kemudi pun memilih membelokan stir mobilnya menuju rumah sakit. Sesampainya disana pun, kondisi Devan justru semakin parah. Mungkin karena bau obat obatan yang mengenyat, pria itu kembali merasakan mual kemudian muntah.

Sarah sendiri sudah kelimpungan, memikirkan alasan apakah yang membuat suaminya itu mendadak seperti orang sakit sakitan.

Tak butuh waktu lama kemudian, dua orang suster membantu Sarah agar cepat menemui dokter dan memeriksakan suaminya itu. Seperti dokter pada umumnya, mereka ditanyai keluhan apakah yang Devan rasakan.

Sering mual dengan tiba tiba, bahkan untuk beberapa hari ke belakang Sarah sering melihat Devan muntah-muntah di pagi hari. Mungkin jika Sarah yang mengalaminya itu nampak normal, bahkan wanita itu akan berpikir dirinya hamil. Tapi, jika suaminya itu yang mengalami, mungkinkah...

"Saya hamil?!"

Devan berujar syok. Mendengar itu Sarah rasanya ingin menggeplak kepala suaminya itu. Untunglah ia masih ingat dosa hingga tak akan pernah melakukannya.

"Maksud saya, kemungkinan istri anda yang sedang hamil... saran saya setelah ini langsung konsultasikan saja dengan dokter kandungan."

"Tunggu sebentar, lalu apa hubungannya dengan gejala yang saya alami?" Devan bertanya antusias. Seakan perasaan lemah, letih, lesu loyonya tadi menghilang begitu saja.

"Dugaan saya istri anda mengalami kehamilan simpatik, dimana sang istri yang hamil, tapi suaminya lah yang paling merasakan gejalanya."

Devan manggut manggut saja mendengar hal itu.

"Supaya lebih jelas, lebih baik langsung periksakan ke dokter kandungan."

.
.
.

Laki-laki mana yang tak bahagia saat mendengar kabar jika sebentar lagi dia akan menjelma sebagai seorang ayah? Jika ada yang tidak bahagia, maka katakan saja pada Devan agar pria itu dapat ia beri pencerahan tentang berharganya sebuah anugerah dari Allah swt itu.

Setelah mendengar penjelasan dan pemeriksaan pada Dokter kandungan, senyum sumringah tak pernah luntur dari wajah Devan. Laki-laki itu dinyatakan akan segera menjadi seorang ayah, papa, atau daddy, terserah pria itu ingin menyebut dirinya apa nanti.

Sarah juga senang saat dinyatakan sedang hamil muda. Namun, bukan berarti setelah itu dia tak boleh melakukan hal apapun kan. Bahkan seperti kata Dokter, wanita itu masih boleh bekerja serta ber aktivitas seperti biasanya.

Berbeda dengan Devan, laki-laki itu melarang keras Sarah kembali bekerja. Istrinya itu hanya ia ijinkan untuk berleha leha di rumah daripada bekerja di kantor yang menurutnya tak penting. Biarkan saja urusan kantor menjadi urusannya. Sarah hanya boleh istirahat dengan cukup tanpa melakukan apapun.

"Hamil itu bukan penghalang untuk seseorang melakukan sesuatu kali Mas!"

"Apalagi Dokter juga bilang gak papa kalo saya masih mau kerja... "

Sarah memandang tak suka ke arah Devan yang berdiri tak jauh darinya. Mereka tengah di dapur. Sarah duduk di kursi bar dan Devan sibuk mengubek ubek isi kulkas.

"Iya, terus salahnya dimana? kan saya juga kasih kamu kerjaan di rumah."

"Tidur ya bukan kerjaan namanya!" Sarah melengos sambil bersidekap dada. Pasalnya suaminya itu malah menyuruhnya tidur saja di rumah daripada bekerja.

"Pasti dulu kamu gak pernah dimarahin ibu mertua sambil bilang kerjaannya tidur mulu, gitu."

Ngomong apasih suaminya itu? Gak jelas! Walaupun ia paham akan maksudnya, tapi tetap saja kedengarannya sangat aneh dan tak menyambung ke topik pembicaraan. Dasar prik!

"Saya mau kerja titik!"

Bagi Sarah, sulit melepaskan sesuatu yang sudah setiap hari ia lakukan apalagi dengan mendadak seperti itu.

"Yaudah, silahkan."

Sudut bibir wanita itu bergerak melawan arah. Sarah tersenyum mengembang melihat Devan menuruti permintaannya. Suaminya itu pun ikut tersenyum seakan bahagia karena Sarah juga bahagia.

"Mulai sekarang kamu saya pecat."

Dibandingkan dengan kecepatan kilat yang menyambar sebuah pohon, senyum merekah yang Sarah umbar juga tak kalah cepat berubah kecut usai mendengar perkataan suaminya itu.

"MAKSUDNYA APAAAAAAA???"

Tidak terima? Tentu saja! Baru dibuat melayang sekarang sudah dijatuhkan. Kit ati Sarah! Hati muengil ku sakit cug, batinnya.

"Sebagai suami kamu, saya gak tega liat kamu mohon mohon kaya tadi, tapi juga gak mau liat kamu kerja di kantor... "

"Karena saya juga atasan kamu di kantor, jadi lebih baik kamu saya pecat biar berhenti kerja."

Sarah turun dari kursinya dengan cepat. Mendorong ke belakang kursi tersebut dengan kasar. Ia sudah kalah jika mendebat kembali ucapan Devan barusan. Setelah berjalan sambil menghentak hentakan kakinya kesal, wanita itu kemudian membanting pintu kamarnya keras.

Devan hanya menyunggingkan bibirnya sekejab. Ia ingin lihat sejauh mana wanita itu akan bertahan dengan amarahnya pada Devan.

Sudah hampir empat jam berlalu. Sarah masih tetap pada pendiriannya untuk mendiamkan Devan. Menganggap seolah laki-laki itu tak ada didekatnya padahal jarak mereka yang selalu berdekatan. Jika Sarah rebahan di kasur, maka Devan sibuk di sofa kamarnya sambil bekerja.

Tak ada yang berniat mengakhiri keheningan itu hingga malam tiba. Devan melirik sebentar ke ranjang, sudah tak ada lagi pergerakan dari wanita itu dari dalam selimut. Jam bahkan sudah menunjukan pukul sebelas malam. Devan beranjak menutup tirai serta pintu balkon di kamarnya itu. Suhu AC saja sudah cukup dingin, mereka akan menggigil semalaman jika laki-laki itu tak segera bergerak menutup nya.

Devan berbaring disebelah Sarah. Menghadap wanita itu hingga kemudian menutup mata. Angin berhembus. Beberapa saat kemudian Sarah membuka matanya sambil menggumam tak jelas. Sudah habis kesabarannya sekarang. Usahanya sejak tadi akan berakhir sia sia karena mendadak ingin tidur dengan dipeluk laki-laki didepannya saat ini.

"Pasti kamu kan yang pengen dipeluk peluk papamu?"

Sarah melihat ke arah perutnya. Belum lahir, tapi sudah terlihat seperti akan satu geng dengan Devan, tak tahu apa kalau mamanya itu sedang marah pada Devan.

"Ini mama peluk karena kamu yang minta lho ya, bukan mama yang kepengen. Inget, ini demi kamu biar gak ileran nanti." 

Sarah berdecak. Masih ragu juga jika tiba tiba memeluk Devan setelah merajuk cukup lama. Akan dipikir apa oleh Devan nanti? Dia yang marah tapi dia juga yang mendadak nempel nempel.

"Gak papa, toh ini anaknya yang kepengen, bukan mamanya," Sarah lagi lagi meyakinkan dirinya sendiri. Setelah mantap ia kemudian mendekati Devan dan mendusel di dada laki-laki tersebut. Devan yang memang belum sepenuhnya tertidur pun tersenyum tipis sambil membalas pelukan Sarah.




Taraaaa makjrengggg!!!! VOTE, KOMEN DAN SHARE SAYANG!!! TBC!

STRANGE BOSS Where stories live. Discover now