Pertanyaan Rumit

766 99 3
                                    

Tangan Xiao Zhan yang tersembunyi di dalam saku celana, mulai basah oleh keringat dingin. Jika bisa, ia juga ingin bersembunyi di dalam saku celana seseorang. Sebelum namanya disebut dengan lantang di depan umum. Dengan banyak pasang mata yang akan menghujatnya sebagai pria cabul.

Nama baiknya juga akan tercoreng, dan media akan menulis beritanya di halaman depan surat kabar mereka sebagai calon senator dengan pikiran kotor.

Alis si artis berkerut. Ia terdiam sebentar, hingga para tamu mulai tak sabar, ingin tahu pelaku dari pembuat rusuh itu.

Seulas senyum tipis yang sangat manis, tersungging di wajah Jeon Jungkook. Ia mengangkat wajahnya dengan rona malu-malu.

"Maaf sekali semuanya. Ini hadiah dari kekasihku. Dia memang sedikit ...." Jeon menunjukkan dua jarinya di atas kepala, sebagai ganti dari kata nakal yang tidak ia ucapkan.

Xiao Zhan bisa bernapas lega untuk sementara waktu, ikatan yang hampir mencekiknya terlepas. Meski ia sudah terbebas dari satu masalah. Masih ada masalah lain yang mengganggu pikirannya, juga membuatnya cemas.

Pertama, apakah betul itu hadiah sama yang dikirimkan Yibo tadi siang, atau itu memang bungkusan kado yang mirip dengan hadiah dari kekasih Jeon Jungkook?

Kedua, jika itu benar kado yang Yibo carikan untuk Zhan. Mengapa wartawan gila itu memilih hadiah yang bisa sangat mempermalukan wajah Xiao Zhan di depan umum.

Lalu, jika di dalam kertas itu benar bertuliskan nama Xiao Zhan. Mengapa Jeon Jungkook tidak mengucapkannya di depan para tamu. Adakah alasan lain, yang membuat Jeon malah mengatakan itu hadiah dari kekasihnya.

Kerumitan macam apa ini? Bahkan otak cemerlang Zhan tidak bisa memecahkan teka teki ini.

.
.

Xiao Zhan menandai nama Wang Yibo dalam deretan orang-orang yang harus diwaspadai. Ia menulis semua itu di dalam bugu agendanya, dengan cover bermotif kotak-kotak.

Zhan perlu lebih hati-hati kali ini, agar tidak terlalu dekat dengan wartawan itu. Seandainya Zhan tidak memilki kesepekatan penting yang berhubungan dengan karirnya dan masa depan partai. Mungkin ia sudah mengirim seseorang untuk menghajar Yibo di kantornya.

Berani sekali wartawan itu berniat mempermalukan Zhan di depan banyak saingannya. Terlebih lagi pesta besar itu, diliput oleh stasiun tv lokal.

Xiao Zhan melepaskan dasi yang hampir 3 jam mencekik lehernya. Ia berkeringat saat berada di dalam gedung. Meski dilengkapi pendingin ruangan, semua itu tak mampu membuat otak Zhan mendingin. Ia benar-benar merasa kacau dan hampir lari, jika saat itu Jeon mengumumkan namanya.

Lampu kamar dinyalakan dengan terang. Xiao Zhan tak suka kegelapan, ia tidur dengan lampu menyala hingga pagi. Setelah melepas pakaian formalnya, ia masuk ke kamar mandi untuk mecuci muka.

Bayangan Yibo yang menertawakan kebodohannya memantul di cermin. Seperti adegan horor yang membuat jantung Zhan berdebar. Rasanya ia ingin mengumpat, mengatakan Yibo bangsat. Lain kali jika bertemu, Zhan benar-benar akan melakukan itu. Melupakan semua tatakrama yang ia pelajari di sekolah khususnya.

Waktu sudah menunjukkan jam 11 malam. Langit malam menghitam, diisi dengan titik-titik cahaya yang berkelip. Mengitari pusat cahaya berbentuk sabit.

Xiao Zhan menarik tirai, agar jendela kamarnya tertutup dari luar. Saat ia melihat sosok yang tak asing, berdiri di bawah sana. Dengan santai menyandarkan tubuhnya di mobil, sembari menikmati nikotin yang dibakar.

Oh, sensasi apa lagi yang ingin diciptakan Wang Yibo?

Xiao Zhan pura-pura tak melihatnya. Ia menutup gorden dengan cepat. Mematikan lampu kamarnya, meski dalam hati bergumam ketakutan.

Ia merebahkan tubuhnya di kasur, meletakkan kepalanya yang sedikit berat ke atas 2 bantal yang ia susun jadi satu.

Kedua mata Xiao Zhan tak juga terpejam. Ia hanya memandang langit-langit kamarnya yang redup. Ia menoleh ke kanan dan kiri. Posisi miring maupun terlentang tak membantunya sama sekali. Ia tetap merasa gelisah.

Sejurus kemudian, ia pun bangkit dan berdiri. Sedikit ragu saat melangkah ke jendela. Ia hanya ingin tahu, apa Yibo masih ada di sana. Bersama mobil dan rokoknya yang menyala.

Tirai ditarik sedikit ke samping, sebelah mata Zhan mengintip di celah tirai yang terbuka, ke luar jendela.

Halaman belakang sedikit remang. Rerumputan terlihat kecoklatan dari pada hijau. Di sana kosong, tak ada seorang pun. Bukan Yibo atau mobilnya. Mereka telah pergi, menyisakan rasa lega di hati Zhan.

Ia bisa tidur dengan tenang malam ini, tanpa memikirkan orang asing yang menguntit di samping rumahnya.

Xiao Zhan berbalik dari jendela, saat ponselnya tiba-tiba berbunyi dengan cukup nyaring dan lampunya berkedip cepat, hingga langit kamarnya seperti disinari senter warna.

Xiao Zhan hampir jantungan, ia menekan dadanya yang berdetak cepat. Seseorang melakukan panggilan ke nomor pribadinya di jam 11 malam. Siapakah dia?

.
.

Melihat dengan tak minat pada layar yang menampilkan sebuah nama yang tak asing. Xiao Zhan menyalakan kembali lampu kamarnya. Sedangkan ponselnya ia bungkam dengan menekan layar merah, dan mengaktifkan mode pesawat.

Ia meletakkan ponselnya kembali ke nakas, menyetel alarm wekernya satu jam lebih siang dari biasa. Esok merupakan hari senggangnya. Selama seminggu Zhan hanya memiliki satu hari libur, di hari minggu. Kadang, ia masih harus datang ke jamuan dadakan. Jika ayahnya tak bisa hadir.

Xiao Zhan menarik selimut putih yang lembut, menutupi hingga bagian dada. Ia bersiap menjemput mimpi. Merasakan kedamaian saat perlahan kesadarannya hilang, dan jiwanya memasuki gerbang impian.

Ia punya cita-cita menjadi seniman sejak kecil. Apakah itu melukis, menulis sastra, bermain alat musik klasik. Ia sangat menginginkan salah satunya. Sayangnya Zhan terlahir di dalam keluarga yang menekuni dunia politik turun temurun. Membuat Zhan sebagai putera semata wayang, harus mengikuti jejak ayah dan kakeknya.

Xiao Zhan terbaring dalam posisnya yang masih tak berubah sejak semalam. Ia tipikal orang yang tenang, bahkan saat tidur ia tak banyak bergerak dan mengeluarkan suara.

Xiao Zhan membuka mata, saat telinganya menangkap suara dari jam weker di sebelahnya. Ia merasa baru saja terpejam, belum selesai dengan mimpinya semalam. Tapi alarm sudah membangunnya.

Karena masih ragu dengan jam wekernya sendiri. Xiao Zhan dengan wajah masih kusut, dan mata yang belum sepenuhnya terbuka. Menarik laci di sebelahnya, mengambil benda pipih berwarna hitam. Melihat di dalam layar menunjukkan angka 06.00

Tidak salah, ini sudah jam 6. Satu jam lebih siang dari kebiasaan Zhan bangun. Setiap harinya, Zhan bangun jam 5 pagi. Berolahraga pagi, sarapan, lalu berangkat ke kantornya. Ini membuatnya selalu on time.

Prinsipnya. Jika tak ingin telat, maka lakukan semua lebih awal.

.
.








Tbc.

Trap The SenatorHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin