1 - Penantian Abu-Abu

477 36 8
                                    

Anisa mendengkus untuk kesekian kalinya. Siapa pula lelaki yang datang melamarnya sore-sore begini? Padahal hari ini adalah jadwal rutin ziarah ke makam Ummi.

"Pung, saya belum ingin menikah." Gadis berhijab merah muda itu menegaskan sekali lagi. Rasanya sampai bosan dia mengatakan kalimat itu. Namun, Marwah—tantenya—dan semua orang yang ada di rumah ini seolah masih belum paham.

"Kamu tetap harus keluar sebentar menemui mereka. Katakan secara langsung."

Anisa menoleh dengan tatapan tidak suka. "Apa nggak bisa Abi aja yang ngomong sama mereka?"

Marwah menggeleng. "Justru ini perintah Abimu. Mulai sekarang, kamu yang harus menolak langsung jika ada lamaran yang datang untukmu. Karena beliau sudah terlalu sungkan. Nanti dikira itu keputusan beliau sepihak karena mengejar menantu milyarder."

Anisa berdecap. Benar-benar alasan ngawur.

"Pokoknya sekarang juga kamu harus keluar menemui mereka." Marwah beranjak, seolah tidak butuh penolakan dalam bentuk apa pun lagi.

Baru dua langkah dia berbalik lagi. "Rapiin diri dulu baru keluar. Tampang kamu udah kayak ayam mengeram," katanya.

Belum sempat Anisa merespons, Marwah sudah melanjutkan langkahnya. Di ambang pintu, dia kembali menoleh. "Dan ingat, bicara yang sopan. Jangan bikin malu Abimu."

Anisa memutar bola mata. Dia lekas beranjak merapikan diri di depan cermin sesuai titah tantenya, sebelum Abi yang masuk untuk mengajaknya keluar. Bisa-bisa ceramah yang mungkin akan terjadi lagi setelah tamunya pergi bertambah panjang durasinya.

Anisa hanya merapikan jilbabnya, menepuk sedikit pipinya dengan bedak tabur dan mengoleskan pelembab ke bibirnya. Sesederhana itu sudah cukup untuk memancarkan kecantikan alaminya. Apa-apa yang ada di wajahnya semuanya masih asli, tidak ada yang dipermak berlebihan.

Sekitar lima menit kemudian, Anisa sudah duduk di hadapan lelaki yang datang bersama kedua orangtuanya untuk melamarnya itu. Supaya cepat, dia langsung meluncurkan kalimat penolakannya dengan bahasa paling santun dan sederhana.

"Sebelumnya terima kasih atas kesediaan Bapak dan Ibu untuk menyambung tali silaturahmi dengan keluarga kami. Tapi maaf, saya belum siap untuk menikah. Masih ada beberapa hal yang ingin saya capai terlebih dahulu." Di sepanjang kalimat itu, Anisa hanya mengarahkan tatapan ke pasangan suami istri di depannya, tidak sekali pun melirik anak mereka. Selain karena Abinya memang mengajarkannya untuk senantiasa menjaga pandangan, dia merasa tidak perlu tahu seperti apa rupa lelaki yang hendak melamarnya itu. Tidak penting.

"Karena putri saya sudah menyampaikan langsung keputusannya, saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi." Badwi—ayah Anisa—mengambil alih. "Semoga bisa dimaklumi."

Tamu mereka tampak mendesah pelan, sebelum akhirnya pamit.

Setelah tamunya pergi, Anisa tetap bertahan di tempat duduknya karena sebentar lagi pasti Abi akan menceramahinya seperti yang sudah-sudah. Terdengar derap langkah lelaki paruh baya itu kembali setelah mengantar tamunya keluar hingga ke tepi jalan. Dengan sikap tenang yang khas, dia kembali duduk berhadapan dengan putrinya.

"Sebenarnya laki-laki seperti apa yang kamu tunggu, Nak?" Pertanyaan yang wajar, mengingat banyaknya lelaki yang sudah datang melamar, tapi tak satu pun yang Anisa terima.

Ceramah segera dimulai. Sepertinya Anisa harus mengeluarkan kalimat-kalimat pamungkas agar ceramah kali ini tidak berlarut-larut. Bukannya enggan, tapi kalau sudah menyangkut soal laki-laki calon pendamping, omongan Abi akan terputar seperti rekaman lagu lawas.

"Kenapa setelah Ummi meninggal, Abi tidak menikah lagi?" Anisa malah balik bertanya. Hal itu membuat kening Abi seketika mengerut.

Jeda menggantung beberapa menit. Mereka hanya berdua di ruang tamu yang kental dengan ornamen-ornamen bernuansa islami itu. Marwah sudah kembali ke dalam. Mungkin menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah atau bersiap untuk mengajar lagi.

Rahasia Suami DinginkuDonde viven las historias. Descúbrelo ahora