3 - Ketika Burung Kembali ke Sarangnya

335 26 2
                                    

Setelah membuka kelas, Anisa malah tidak bisa berkonsentrasi. Dia mondar-mandir di depan papan tulis tanpa tahu bagaimana memulai materi yang harus dibawakannya kali ini. Bayangan cowok berkoko putih tadi terus saja berkeliaran di benaknya.

Akhirnya, Anisa hanya meminta santrinya untuk membaca buku paket mereka di bab yang sudah ditentukan, lalu dia pamit keluar sebentar. Entah harus ke mana, tapi tanpa sadar langkahnya mengarah ke gerbang.

Dia Elang bukan, sih?

Mau ke mana?

Kedua pertanyaan itu mengantarkan Anisa keluar pondok, lalu melanjutkan langkahnya ke arah perginya cowok berkoko putih tadi.

Pondok Pesantren Al-Amin terletak di salah satu desa terpencil di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Letaknya tidak bersentuhan langsung dengan pemukiman penduduk. Ada jeda sekitar 500 meter. Saat ini Anisa sedang menapaki jalanan berbatu yang diapit area persawahan. Musim tanam baru saja berlalu. Bibit padi mulai tumbuh, menciptakan hamparan hijau yang menyegarkan mata.

Anisa terus berjalan. Pikirnya, cowok itu pasti ke perkampungan untuk urusan tertentu. Santri lain juga begitu, biasanya untuk membeli kebutuhan sehari-hari dan senangnya berbondong-bondong.

Saking fokusnya memikirkan cowok itu, Anisa sampai tidak sadar kalau dia baru saja melewati seekor angsa. Dia baru sadar setelah angsa itu tiba-tiba menyerangnya. Anisa kaget bukan main. Dia langsung memacu larinya secepat mungkin. Karena jalanan tidak rata, dia rada kepayahan. Ditambah lagi gamisnya sama sekali tidak cocok untuk dibawa lari.

Setelah napasnya hampir habis, akhirnya ada seseorang yang datang dari arah berlawanan. Tanpa pikir panjang, Anisa langsung mencari perlindungan ke orang itu. Serta-merta dia berpegangan di pundak orang itu dan berlindung di baliknya.

Untungnya yang ditempati berlindung sangat peka. Dia langsung mengambil alih situasi.

"Tenang," katanya sambil memasang sikap siap siaga menyambut kedatangan angsa yang semakin dekat. "Semakin kita panik, dia akan semakin menyerang."

Anisa punya pengalaman buruk soal angsa. Kerena itu, bukan perkara mudah untuk memaksakan diri tetap tenang di situasi seperti ini.

Orang itu merentangkan kedua tangannya ketika angsa sudah tiba di depan mereka, seolah benar-benar ingin menghindarkan Anisa dari serangan.

"Tenang, ya. Jangan bergerak dan jangan teriak," bisik orang itu.

Anisa tidak punya pilihan selain menurut, meski jantungnya hampir copot rasanya.

Si angsa memaju-mundurkan kepala sambil mengepakkan kedua sayapnya. Leher panjangnya meliuk-liuk dengan gemulai. Melihat itu, Anisa memejamkan mata sambil mencengkeram pundak orang itu lebih kuat.

Setelah agresi si angsa mereda, orang itu mulai menuntun Anisa untuk menjauh dari sana. Dia mengarah ke jalan pulang sambil tetap awas.

Dengan gerakan mundur perlahan-lahan, mereka berhasil menjauh dari angsa itu. Dan akhirnya si putih berparuh kuning itu pun pergi ke arah lain.

"Ya, Tuhan .... Hampir aja." Anisa masih terengah. Dia langsung menjatuhkan pundaknya ke depan dan menumpukan kedua tangannya di lutut. Capek setelah lari-larian baru terasa.

"Lain kali kalau ketemu angsa jangan panik. Mundur aja pelan-pelan."

Mendengar suara itu, Anisa merasa dejavu. Penolongnya lagi-lagi cowok. Dalam keadaan masih rukuk, netra Anisa melebar karena menyadari sarung cokelat kotak-kotak yang membalut kaki jenjang cowok di depannya, juga koko putihnya.

Seketika Anisa menegakkan punggung. Dan apa yang pernah Abi alami saat pertama kali melihat wajah Ummi, kini terjadi padanya. Rasanya dunia berhenti berputar, waktu membeku, dan tidak ada hal lain yang menguasai benak Anisa selain tatapan cowok bermata elang di depannya ini.

Dia santri baru itu. Benar kata Maryam, gantengnya memang kelewatan. Namun, bukan itu yang membuat Anisa mematung, tapi karena cowok ini benar-benar Elang yang dia dambakan. Burung itu rupanya sudah kembali ke sarangnya. Wajahnya memang tampak beda dari 10 tahun silam, karena kini rahangnya tampak lebih tegas dan ujung hidungnya lebih mencuat. Selain itu tentu saja bentuk tubuhnya lebih matang selayaknya laki-laki dewasa pada umumnya. Namun, Anisa tidak mungkin lupa dengan tahi lalat di bawah mata kiri itu, serta lekuk senyumnya yang tidak berubah sedikit pun.

Anisa lekas memutus kontak mata setelah berhasil menemukan kembali kesadarannya. Sekarang situasinya jadi sangat canggung.

Apakah dia masih ingat aku?

"Anda guru di pesantren, ya?" tanya cowok itu setelah melirik pin berlogo Al-Amin yang tersemat di pundak kanan Anisa.

Anisa hanya mengangguk. Dia merasa aneh dengan gaya bicara formal itu. Sungguh, cowok ini tidak mengingatnya sedikit pun? Atau dia memang bukan Elang?

"Saya Elang, baru tiba dari Jakarta. Hari ini mendaftarkan diri di Al-Amin untuk memperdalam lagi ilmu agama."

Mata Anisa membulat. Ternyata dia memang Elang. Namun, kenapa sikapnya seolah tidak pernah mengenal Anisa sebelumnya? Atau dia hanya berusaha menjaga sikap selayaknya seorang santri kepada gurunya? Namun, Anisa rasa, untuk santri dewasa yang masuk melalui program khusus tidak perlu sampai sebegininya.

"Tadi Ustazah mau ke mana tiba-tiba ketemu angsa?"

"Hei! Jangan panggil aku ustazah." Anisa mengibaskan tangan. "Ilmuku masih sangat jauh dari kata pantas untuk menyandang gelar itu."

Mereka terkekeh.

Detik selanjutnya Anisa malah bingung harus jawab apa. "Tadinya mau ke ATM, tapi besok aja, deh. Siapa tahu angsanya masih berpatroli di sana," kilahnya kemudian.

Mereka terkekeh lagi.

"Kamu sendiri?"

Elang menunjukkan sikat gigi di saku kokonya. "Habis beli ini. Kemarin kelupaan."

Anisa ber-o tanpa suara.

"Kita pulang sekarang?" Kalimat Elang antara menawarkan dan bertanya.

Anisa mengangguk canggung. Dia bahkan lupa telah meninggalkan kelasnya begitu saja. Ceramah Abi bisa berjilid-jilid kalau ketahuan.

Karena mereka berada di kawasan pesantren, untuk menghindari omongan yang tidak-tidak, mereka jalan beriringan tanpa benar-benar sejajar. Anisa sengaja dua langkah agak di belakang.

Sepanjang jalan pulang, Anisa terus memikirkan cara untuk mengingatkan Elang dengan kejadian di telaga 10 tahun yang lalu. Namun, hingga di batas yang sebaiknya mereka tidak jalan beriringan lagi, tidak ada percakapan yang tercipta.

"Kamu masuk duluan. Lebih baik kalau kita tidak terlihat datang bersamaan," ujar Anisa.

"Oke." Elang mengembangkan senyum sebelum berbalik.

"Lang!" cegat Anisa ketika Elang baru beranjak lima langkah.

Elang menoleh. "Ya?"

"Kayaknya kita masih sepantaran, deh, kamu nggak usah terlalu kaku sama aku."

Elang mengangguk, lagi-lagi dengan senyum yang selama ini tercetak jelas di benak Anisa.

Hingga punggung Elang menghilang di balik gerbang pondok putra, Anisa masih terpaku di pijakannya.

Setelah bertahun-tahun, akhirnya doanya diijabah. Elang yang dia dambakan benar-benar kembali ke kampung ini. Namun, kenapa cowok itu bersikap asing sepenuhnya? Seperti apa dunia yang dia jumpai di luar sana? Apakah kelana memang akan menghapus sebagian ingatan? Ataukah, bagi Elang, seutas kenangan masa tanggung mereka bukan sesuatu yang patut dirawat sedemikian rupa dalam memori?

Hati Anisa mencelus. Apa yang harus dilakukannya sekarang?

***

[Bersambung]

Ada saran, Anisa harus ngapain?
😁

Rahasia Suami DinginkuWhere stories live. Discover now