7 - Kenapa Aku Dihindari?

260 29 4
                                    

"Kamar kita di atas." Akhirnya Elang bersuara juga. Karena sedari tadi diam, entah kenapa suara itu terasa sangat asing.

Saat melihat ke wajah suaminya, Anisa juga bingung. Entah ekspresi apa yang tercipta di sana. Datar dan kelam.

"Lang, orangtuamu mana?" tanya Anisa saat mereka menaiki tangga.

Mereka tidak tinggal di sini.

"Jadi, kamu cuma sendiri di rumah sebesar ini?"

"Kan, sekarang ada kamu, ada pembantu juga."

Meski jawabnya lancar, Anisa tetap merasa Elang enggan diajak bicara.

"Ini kamar kita," ucap Elang sambil membuka pintu salah satu ruangan di lantai dua. "Kamu istirahat duluan, ya, aku masih ada kerjaan. Atau kalau mau makan bilang aja ke Bibi." Tanpa menunggu respons Anisa, Elang langsung beralih ke ruangan sebelah sambil menenteng laptopnya. Barangkali itu ruang kerjanya.

Hingga detik ini Anisa terus bertanya-tanya, ada apa di balik perubahan Elang yang sangat drastis itu? Untuk apa dia dibawa ke sini kalau hanya untuk dicuekin?

"Maaf, Bu, barang-barangnya mau ditaruh di mana?" Suara Bibi menyentakkan Anisa dari lamunan. Perempuan paruh baya itu datang sambil mendorong koper besar.

"Di sini aja, Bi."

"Atau mau Bibi bantu tata di dalam, Bu?"

"Nggak usah, Bi. Biar aku aja."

"Kalau begitu saya ambil sisanya dulu, Bu."

Anisa mengangguk seraya tersenyum.

Saat Bibi hendak berbalik, tiba-tiba Anisa kembali bersuara.

"Oh ya, Bibi udah lama kerja di sini?"

Bibi kembali menghadap ke majikan barunya itu. "Baru beberapa bulan, Bu, gantiin pembantu sebelumnya yang pulang karena sakit-sakitan."

Sebenarnya Anisa ragu menanyakan ini. "Bibi pernah ketemu orangtua Pak Elang, nggak?"

Bibi menggeleng.

"Pak Elang emang pendiam banget, ya?"

Bibi tampak berpikir sejenak. "Kalau sama Bibi dan pekerja lain di rumah ini emang jarang bicara, Bu, tapi kalau sama Den Mule, lumayan ribut, kok. Mungkin karena Den Mule suka gangguin Pak Elang."

"Den Mule?"

"Adiknya Pak Elang. Ibu nggak tahu?"

Anisa menggeleng samar.

"Kalau Den Mule mah kocak banget orangnya, Bu. Ramah lagi. Kalau ke sini suka bawain Bibi dan pekerja lainnya makanan mahal." Bibi tersenyum lebar, kentara sekali kalau dia terkesan dengan orang yang bernama Mule itu.

Semakin banyak informasi yang dia dapatkan, Anisa malah merasa semakin tidak mengenal siapa sebenarnya suaminya. Seperti apa kehidupannya? Anisa sungguh ingin tahu semuanya. Namun, Elang terkesan menutup diri.

"Ada lagi, Bu?" Suara Bibi lagi-lagi menyentakkan lamunan Anisa.

Anisa menggeleng.

"Kalau begitu Bibi ke bawah dulu ambilin sisa barang-barang Ibu."

Anisa mengangguk menyilakan.

Sepeninggal Bibi, tatapan Anisa kembali tertuju ke ruang kerja Elang yang pintunya sudah tertutup rapat. Sesibuk apa lelaki itu di dalam sana?

Mencegah pikiran buruk terus bertunas di benaknya, Anisa berusaha menyibukkan diri. Lebih baik dia lekas memindahkan baju-bajunya ke dalam lemari agar tidak apak karena kelamaan di dalam koper. Dia pun menyeret koper besar itu ke dalam, lalu membuka-buka lemari untuk mencari tempat. Anisa takjub melihat baju-baju Elang yang tertata rapi, disusun berdasarkan jenis dan warna.

"Bu, ini sisa barangnya." Bibi datang lagi sambil mendorong koper yang berukuran lebih kecil.

"Baju-baju ini Bibi yang susun?" tanya Anisa tanpa menoleh. Dia masih takjub dengan isi lemari pakaian suaminya.

"Pak Elang nyusun sendiri, Bu, soalnya hanya dia yang paham harus digimanain. Bibi hanya menyetrikakan."

Seperfeksionis itukah? Kenapa Elang terasa semakin misterius?

"Ibu mau saya siapkan makanan?"

Anisa menoleh. "Nggak usah, Bi. Aku nggak lapar."

"Kalau begitu, Bibi ke bawah lagi, Bu."

Anisa mengangguk seraya tersenyum. "Makasih, ya, Bi."

"Iya, Bu." Bibi merundukkan kepala sebelum pergi.

Sepeninggal Bibi, Anisa lanjut mengecek lemari-lemari lainnya. Pemandangan yang didapatinya kurang lebih sama. Koleksi sepatu, jam tangan, hingga tali pinggang Elang semuanya tersusun rapi berdasarkan merek dan warna.

Di posisi paling pojok, ada satu lemari tiga pintu setinggi dua meter yang masih kosong. Tampaknya memang dipersiapkan untuk Anisa. Tanpa pikir panjang, dia pun lekas memindahkan barang-barangnya ke sana.

Meski terlihat enteng, ternyata memindahkan dua koper pakaian ke lemari lumayan membuat badan Anisa pegal-pegal. Dia meregangkan punggung serta kedua lengannya sambil berjalan keluar.

Di luar, Anisa mendapati pintu ruang kerja Elang masih tertutup rapat. Sesibuk apa suaminya itu di dalam sana? Dia teramat ingin masuk untuk melihat-lihat, tapi takut kembali menuai respons yang tidak diharapkan. Sikap dingin Elang agak mengerikan.

Akhirnya Anisa kembali ke dalam. lebih baik dia menunggu Elang menyelesaikan pekerjaannya sambil rebahan.

***

Anisa mendapati subuh pertama di Jakarta yang teramat asing. Jika selama ini subuhnya selalu diwarnai dengan lantunan ayat-ayat suci Alquran yang mengalun dari masjid pesantren, sekarang subuhnya terasa senyap dan hampa. Apakah memang tidak ada masjid di sekitar sini? Suara adzan hanya mengalun lirih dari nada alarm ponselnya. Untungnya tadi malam jamnya sudah dialihkan ke WIB.

Anisa menoleh ke samping, tidak ada Elang di sisinya. Hal itu membuatnya tersentak dan buru-buru bangun. Suaminya pasti ketiduran di ruang kerjanya.

"Mas!" Kali ini, tanpa pikir panjang Anisa langsung mengetuk pintu ruang kerja suaminya yang masih tertutup rapat itu. Namun, hingga ketukan ketiga tidak ada jawaban. Anisa pun mencoba memutar kenop pintu, dan ternyata tidak terkunci.

"Mas?" Anisa masuk pelan-pelan. Dia menemukan suaminya tidur di sofa.

Melihat lampu ruangan itu diredupkan, Elang tidur menggunakan bantal serta selimut bulu yang menutupi tubuhnya, ini bukan ketiduran, tapi dia memang berencana tidur di sini.

Air mata Anisa mendesak tiba-tiba. Kenapa Elang harus menghindarinya seperti ini?

"Bangun, Mas, udah subuh." Anisa membangunkan suaminya, sambil memasang tanggul di tepian matanya sekuat tenaga.

Elang hanya melenguh. Tanpa membuka mata, dia mengubah posisi baringnya, lalu kembali tenang.

"Mas, salat dulu." Anisa mengguncang pundak Elang sekali lagi.

"Aku masih ngantuk banget, Nis. Kamu duluan aja."

Hati Anisa tersayat-sayat. Dia teringat cerita Pung Rohim, yang berkali-kali memuji ketaatan Elang menunaikan ibadah. Katanya, selalu dia yang pertama berada di masjid saat subuh. Namun, kenapa sekarang malah begini?

Anisa meninggalkan ruangan itu dengan kepala yang mendadak berat. Apa yang terjadi dengan suaminya? Ke mana Elang yang rela meluangkan waktunya selama dua bulan demi bersungguh-sungguh mendalami Islam?

Teringat subuh semakin beranjak, Anisa bergegas mengambil wudhu dan bersiap untuk salat. Dia terpaksa salat sendiri. Padahal, salah satu gambaran indahnya pernikahan di benaknya selama ini adalah bisa salat berjamaah dengan orang yang dicintai.

Di akhir sujudnya, seperti biasa, Anisa mendoakan kesehatan untuk Abi dan tempat yang layak untuk Ummi di sana. Kali ini dia berdoa lebih lama dari biasanya, menyebut nama Elang lebih sering dari biasanya. Dia mohon dikuatkan untuk menghadapi sang suami, karena perubahannya nyaris tidak masuk akal. Semakin dipikir malah semakin membingungkan.

***

[Bersambung]

Sejauh ini udah ada yang bisa nebak, kenapa tiba-tiba Elang berubah?

Rahasia Suami DinginkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang