2 - Titisan Malaikat

320 27 2
                                    

"Kenapa Abi mau-mau aja dijodohkan?"

"Karena Abi percaya, orangtua Abi pasti memilihkan calon yang terbaik."

"Waktu pertama kali lihat wajah Ummi, apa yang Abi rasakan?"

"Dunia seperti berhenti berputar, dan samar-samar Abi mendengar bisikan, dialah jodohmu."

"Kapan pertama kali Abi bilang cinta ke Ummi?"

Badwi menghela napas panjang juga akhirnya. Sudah sedari tadi dia meladeni pertanyaan macam-macam putrinya ini. Rasanya seperti maling tertangkap basah yang sedang diinterogasi di kantor polisi.

"Nis, kamu ini mau nulis novel atau riwayat hidup Abi dan Ummi, sih? Kok nanyanya sampai sedetail itu?"

Anisa berhenti mencatat. Tatapannya beralih ke mata Abi. "Makin banyak informasi makin gampang menghidupkan karakternya, Bi. Nantinya juga bisa lebih meyakinkan, kalau ini terinspirasi dari kisah nyata."

"Gini, ya, Nis, Abi nggak masalah dengan hobi menulis kamu itu, bangga malah. Tapi, daripada nulis fiksi, cinta-cintaan, apa nggak sebaiknya nulis hal-hal yang lebih bermanfaat?"

"Buku dakwah maksud Abi?"

"Nggak harus buku dakwah juga, tapi yang semacam itu."

Anisa berdecap sambil meletakkan buku catatannya di atas meja. "Kita juga bisa berdakwah lewat cerita fiksi, kok, Bi. Malah bisa jadi lebih efektif. Karena anak-anak zaman sekarang malas baca buku yang berat-berat."

"Terserah kamu, deh. Tapi Abi nggak ada waktu untuk meladeni pertanyaan-pertanyaan kamu yang nggak ada habisnya itu." Badwi meraih tumpukan buku di atas meja, lalu berdiri."

"Yah, Bi. Kok, pergi, sih? Nisa belum selesai ini."

"Abi harus ngajar lagi. Assalamualaikum!"

Anisa membalas salam Abi, lalu mendengkus sambil mengentakkan kaki.

Anisa selalu merasa, bahwa bagian terbaik di hidupnya adalah terlahir sebagai putri Ust. Badwi, pewaris Pondok Pesantren Al-Amin setelah Kiai Malik—kakeknya—wafat tahun lalu.

Anisa lahir, tumbuh, dan menimba ilmu di lingkungan pesantren. Kemudian kuliah di kota ini juga dan kembali mengabdikan diri di pesantren. Dia sama sekali tidak mempermasalahkan siklus itu, karena sebagian besar generasi terdahulu di keluarga besarnya juga mengalaminya. Hanya saja, sesekali kadang dia berangan-angan bisa mengunjungi tempat-tempat menakjubkan di luar sana. Karena itulah dia sangat suka membaca, dan ujung-ujungnya tertarik untuk menulis. Dia ingin menciptakan bukunya sendiri, dia ingin menuangkan pikiran seleluasa mungkin.

Dari sekian banyaknya jenis tulisan, Anisa lebih condong ke fiksi remaja. Hanya saja ... kayaknya Abi kurang suka. Lihat saja tadi, dia ogah-ogahan diwawancarai, karena tahu Anisa akan menjadikannya bahan untuk menulis novel cinta-cintaan.

Kendati demikian, semangat Anisa tidak pernah surut untuk menuliskan kisah cinta Abi dan Ummi. Karena menurutnya, itu salah satu kisah cinta terbaik yang pernah dia dengar. Tidak peduli nantinya akan ada yang baca atau tidak.

Anisa membaca lagi jawaban-jawaban Abi yang sempat dicatatnya tadi, sambil senyum-senyum sendiri. Meski terkesan pelit memberi jawaban, Anisa masih akan memburu ayah tercintanya itu dengan beberapa pertanyaan.

Jam istirahat selesai. Anisa membereskan barang-barangnya untuk kembali mengajar. Dia mengajar di tingkat SD.

Rumah keluarga Anisa berada di kawasan asrama guru. Berhadapan dengan bangunan pondok pesantren Al-Amin, hanya diantarai jalanan sempit tidak beraspal.

Pesantren Al-Amin menyatukan pondok putra dan putri di satu lokasi, tapi dibatasi tembok setinggi lima meter yang atasnya dipasangi kawat berduri. Satu-satunya akses untuk menyeberang dengan aman hanya lewat depan. Dan tentu saja pengawasannya super ketat.

Rahasia Suami DinginkuDonde viven las historias. Descúbrelo ahora