6 - Tiba-Tiba Terasa Asing

243 23 5
                                    

Pernikahan Elang dan Anisa dilangsungkan dua minggu setelah lamaran. Sesuai permintaan Elang, semuanya dikonsep secara sederhana. Tidak ada resepsi mewah, hanya syukuran yang dihadiri warga pesantren dan kerabat terdekat.

Anisa tidak henti-hentinya mengalunkan syukur dalam hati. Tuhan sedang bermurah hati padanya, menghadiahkan seorang pendamping hidup yang namanya selalu tersulam dalam bait doanya. Dia teramat bahagia, meski ketidakhadiran orangtua Elang sesekali mengganggu pikirannya.

Setelah seluruh rangkaian acara selesai, Elang dan Anisa masuk ke kamar pengantin yang sudah dipersiapkan. Mengingat ini malam pertama mereka, jantung Anisa berdegup kencang sedari tadi. Sebentar lagi dia akan menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri, puncak perayaan cinta yang bernilai ibadah.

Namun, setibanya di dalam kamar, Elang langsung menukar pakaiannya dengan piyama tidur. Tanpa berucap apa-apa, dia langsung mengempaskan diri di tempat tidur dan tertidur tidak lama setelahnya.

Tentu saja Anisa terheran-heran. Ini malam pertama mereka, tapi kenapa suaminya secuek itu? Mungkin dia benar-benar kecapekan. Anisa berusaha berpikir positif dan memaklumi. Dia pun lekas berganti pakaian dan membersihkan semua riasan wajahnya. Setelah selesai, pelan-pelan dia membaringkan diri di samping sang suami yang tidurnya semakin pulas. Sesekali dengkuran lembutnya terdengar.

Dalam keremangan lampu kamar, Anisa memperhatikan wajah suaminya lamat-lamat. Dia tampak sangat damai dalam lelapnya. Sosok yang selama ini hanya bersarang di ruang khayalnya, kini terbaring di sisinya sebagai seorang suami.

Hanya saja ... entah kenapa Anisa merasa ada sesuatu di diri Elang yang tidak bisa dia gapai sepenuhnya. Semoga ini hanya perasaannya saja. Katanya, setelah menikah itu ada-ada saja godaannya. Mungkin kecemasannya yang tak beralasan ini salah satunya.

***

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Anisa mengajak Elang berziarah ke makam Ummi. Seperti biasa, selesai menabur bunga, Anisa melangitkan doa-doa baik untuk Almarhumah Ummi. Tak lupa Anisa mengenalkan Elang, meski hanya dalam hati.

"Mas, kita ke telaga dulu, yuk!" ajak Anisa setelah mereka keluar dari kawasan TPU. Dia ingin mengenang momen pertemuan pertama mereka 10 tahun silam. Di telaga itu, dia juga ingin mengisahkan penantian panjangnya kepada sang suami.

"Ngapain? Buang-buang waktu aja."

Namun, begitu kata Elang. Sungguh kalimat yang menyentakkan jantung Anisa. Ada sesuatu yang tiba-tiba terkoyak di dadanya. Padahal, tadinya dia pikir Elang akan menyambut ajakan itu dengan antusias, mengingat dia juga punya banyak kenangan di telaga itu. Dulu, saat mengantarkan Anisa pulang, Elang sempat cerita, bahwa dia memang sering berenang di telaga itu. Hanya saja baru sekali itu waktu datangnya berbarengan dengan Anisa.

"Mending kita pulang untuk siap-siap. Mobil jemputan bentar lagi datang, loh."

Anisa tercenung. Jarak tempuh dari kampungnya ke Bandara Sultan Hasanuddin yang berada di Makassar memang memakan waktu sekitar 5 sampai 6 jam, tapi pesawat mereka berangkat pukul lima sore. Bukankah itu masih lama? Kenapa harus buru-buru?

"Nis, ayo!" panggil Elang karena istrinya itu malah mematung, sementara dirinya sudah siap di atas motor.

Anisa menghela napas panjang dan lekas naik ke boncengan. Sekarang bukan hanya sikap Elang yang berubah, tapi nada bicaranya juga mulai terasa asing.

Ada apa sebenarnya?

***

Kemarin saat akad nikah, Badwi tak kuasa membendung air matanya ketika kata sah bersahutan dari mulut para saksi. Setiap ayah pasti punya keharuan masing-masing saat harus melepas putrinya ke seorang lelaki yang menjadi jodohnya. Dan hari ini, air mata Badwi kembali berlinang saat akan melepas kepergian Anisa untuk ikut sang suami ke Jakarta. Dia memeluk Anisa sangat erat dan mengecup keningnya berkali-kali.

Anggota keluarga yang lain tidak jauh berbeda. Ini kali pertama Anisa akan jauh dari mereka. Semoga Elang benar-benar bisa menjaganya.

Sepanjang perjalanan ke Makassar, hampir tidak ada percakapan yang terjadi di antara Elang dan Anisa. Elang sedari tadi memejamkan mata. Entah tidur atau memang sengaja menghindar.

Anisa yang paling tidak bisa tidur saat berkendara, akhirnya hanya menatap pemandangan di sisi jalan. Hal itu lumayan menghibur, karena dia memang jarang bepergian.

"Mas mau makan apa?" tanya Anisa saat mereka dan penumpang lain mampir untuk makan siang.

"Samain aja kayak kamu," jawab Elang sambil bermain ponsel, sama sekali tidak menatap ke arah Anisa.

Hal itu lagi-lagi membuat Anisa bertanya-tanya, ada apa sebenarnya?

Elang dan Anisa tiba di Bandara Sultan Hasanuddin tiga jam sebelum jadwal pesawat mereka. Keduanya masuk ke kafe terlebih dahulu untuk mencari makanan ringan dan minuman segar.

"Mas lagi kurang enak badan, ya?" tanya Anisa akhirnya. Dia benar-benar tidak tahan dengan situasi membingungkan ini.

Elang menggeleng.

"Terus, kenapa Mas diam aja dari tadi?"

"Memangnya apa yang harus dibicarakan?"

Sungguh bukan jawaban semacam itu yang Anisa harapkan.

"Kalau kamu mau cerita, apa pun itu, cerita aja. Aku pasti dengerin, kok."

Hati Anisa kian mencelus. Kenapa Elang tiba-tiba berubah begini?

Di ruang tunggu, Elang semakin mengacuhkan Anisa. Lelaki itu sibuk dengan laptop di pangkuannya. Entah apa yang sedang dikerjakannya.

Anisa tidak bisa membiarkan situasi ini berlarut-larut. Namun, apa yang harus dia lakukan? Suaminya tiba-tiba seperti tertukar dengan jiwa orang lain. Begitu asing. Begitu dingin.

***

Pesawat yang ditumpangi Elang dan Anisa mendarat di Bandara Soekarno-Hatta selepas isya. Mereka dijemput oleh sopir pribadi Elang. Melihat sopir itu berseragam rapi, Anisa mulai bertanya-tanya, sekaya apa suaminya ini? Bisnis apa yang dia jalankan di kota metropolitan ini?

Satu pertanyaan lagi tiba-tiba menyentak benak Anisa, apakah keputusannya menerima lamaran Elang sudah tepat? Kalau dipikir-pikir, bukankah itu memang terlalu gegabah? Makin ke sini dia makin sadar, tidak ada apa pun yang dia tahu soal suaminya ini, selain dia pernah menyelamatkan nyawanya 10 tahun silam.

Diam-diam Anisa melirik suaminya. Bahkan di mobil pun, lelaki itu masih saja sibuk dengan laptop di pangkuannya.

Sejauh ini Anisa masih berusaha tetap berpikiran positif. Barangkali Elang memang ada pekerjaan yang mendesak untuk diselesaikan.

Daripada makan hati, akhirnya Anisa memilih untuk menikmati keindahan malam Kota Jakarta yang baru pertama kali didatanginya ini. Dibanding kampung halamannya, perbedaannya bagaikan langit dan bumi.

Setibanya di kediaman Elang, Anisa terperangah melihat bangunan megah berlantai tiga di depannya. Halamannya luas dan ada kolam renangnya. Mirip rumah-rumah mewah di sinetron-sinetron.

Elang bahkan tidak mempersilakan Anisa, dia langsung masuk begitu saja.

Seorang ART menyambut mereka. Perempuan paruh baya itu langsung mengambil alih barang-barang Elang dan Anisa.

Memasuki ruang tamu, Anisa kembali dibuat terkagum-kagum oleh interior ruangan itu. Semuanya serba minimalis, tapi tetap elegan dan terlihat mahal. Di salah satu dinding terpajang lumayan banyak foto Elang dalam berbagai ukuran. Sebagian besar bersama seorang lelaki paruh baya bertubuh tegap yang sangat mirip dengannya. Anisa yakin, itu pasti Pak Roni, ayahnya. Namun, kenapa tidak ada satu pun foto bersama ibunya? Bukankah idealnya ruang tamu ini juga dihiasi foto keluarga yang lengkap?

Anisa baru sadar, ke sudut mana pun dia memandang, tidak ada foto perempuan di rumah ini. Hal itu semakin menambah tumpukan pertanyaan di benaknya.

***

[Bersambung]

Yang ikut bertanya-tanya kenapa Elang tiba-tiba berubah, kita satu server. 🙄🤔

Rahasia Suami Dinginkuحيث تعيش القصص. اكتشف الآن