2 - {SERPIHAN HATI}

6.4K 1.6K 148
                                    

Seharusnya aku nggak terkejut dengan kehadiran Gandhi di rumah orang tuaku. Kemarin dia nggak datang untuk membantu pemakaman ayah, jadi dia datang hari ini. Para pelayat sudah pulang, tapi rumah masih kelihatan ramai. Keluarga besar ayahku banyak yang menginap kemarin.

Kedatanganku disambut oleh semua orang termasuk Gandhi. Dari rautnya, aku tahu dia sedang menahan diri supaya hubungan kami nggak terlihat sedang ada masalah.

"Bisa ngomong sebentar?" Bukannya langsung ke kamar untuk membersihkan diri, aku justru menyuruh Gandhi agar dia mengikutiku ke teras belakang. Semua orang nampak maklum. Mungkin mereka mengira aku sedang butuh bahu Gandhi untuk menumpahkan kesedihanku.

"Kamu ke mana aja, Ran?" tanya Gandhi begitu kami sampai di teras belakang, mengambil tempat agak jauh dari pintu dan jendela supaya nggak ada yang mendengar kami.

"Ke Surabaya. Lana nggak cerita?"

Gandhi menjilat bibirnya sendiri. Aku cukup lama mengenalnya hingga tahu kalau itu adalah gestur saat dia merasa nggak nyaman.

"Apa itu benar? Mas Gandhi sama Lana?" tanyaku lagi.

Kali ini Gandhi menolak menatapku tepat di mata. Tangannya terkepal di sisi tubuh.

"Sebelum masalah ini jadi terlalu sulit dan menyakitkan bagi kita semua, biar kutanya sekali lagi. Apa itu benar?"

Gandhi menunduk. "Iya."

Kuhembuskan napas berat lewat mulut sembari menyiapkan diri untuk mengatakan keputusanku. "Makasih udah datang hari ini. Aku sangat menghargai bantuan apa pun yang Mas Gandhi berikan ke keluargaku sebelum aku datang kemari. Mas bisa pergi sekarang."

Gandhi akhirnya mendongak. "Bisa kita bicarakan ini, Ran?"

Aku menggeleng pelan. "Kamu punya banyak kesempatan, Mas. Dan kamu udah menyia-nyiakannya. Sekarang pergilah, for good."

Dia mencekal lenganku ketika aku hendak berbalik. "For good? Maksudmu selamanya?"

"Iya. Tadi aku udah ngirim email ke semua vendor mengenai pembatalan ..." Kutahan isakan yang hampir keluar. "-acara kita. Karena waktu udah mepet, biaya yang kita keluarin nggak bisa direfund." Kuharap dia merelakan uang yang kami bayarkan secara patungan ke semua vendor.

"Aku dan Lana, itu sebuah kesalahan! Waktu itu aku mabuk, dan kukira yang bersamaku itu ... kamu, Ran. Aku bersumpah nggak punya perasaan apa pun ke Lana. You can't do this to me!"

Gandhi nggak bisa minum minuman keras karena dia mudah mabuk. Seingatku, terakhir kali dia mabuk adalah saat kami berdua menghadiri acara ulang tahun Alana beberapa minggu yang lalu. Gandhi sempat menghilang dua jam sampai aku memutuskan untuk pulang sendiri dari venue. Ternyata dia bersama Alana. Bodohnya aku karena mengira dia pulang duluan.

"Kalau diperbolehkan memilih, aku pasti milih kamu. Pilihanku akan selalu kamu, Rani. Please, kamu nggak bisa membuang segala yang udah kita bangun bertahun-tahun!"

Playing victim. Salah satu kebiasaan Gandhi setiap kali kami bertengkar. Dia akan bersikap seperti orang yang paling tersakiti dan melimpahkan semua keputusan padaku. Selama ini aku selalu jatuh ke trik yang sama. Tapi sekarang, nggak lagi ...

"Kamu lah yang membuang semuanya. Waktuku, kasih sayangku, kepercayaanku, semuanya." Aku menggertakkan gigi seraya mengambil satu langkah ke arahnya. "Kamu keliru. Kalau ada pilihan yang lebih baik, kamu akan ambil kesempatan itu. Jauh di lubuk hatimu, itulah kebenarannya."

"Rani ..."

"Delapan tahun kamu menyembunyikan hubungan kita dari teman-teman dan kolegamu. Kamu nggak pernah megang tanganku di tempat umum. Kamu pergi ke acara-acara sendirian tanpa mengajakku. Kamu nggak pernah jadi dirimu yang kukenal di depan semua orang. Hanya waktu kita lagi berdua ... kamu jadi orang yang aku inginkan. Selama ini aku bersabar karena kupikir, memang itulah kamu. Orang yang punya dua sisi berbeda." Aku menggigit bibir bawahku demi menguatkan diri. "Kamu tahu gimana bersyukurnya aku waktu kamu ngelamar aku ke Ayah?"

Under The Trumpet Tree [Published by Karos]Where stories live. Discover now