6 - {QUIET AS A COWARD}

5.9K 1.5K 306
                                    

Menjadi korban penyerangan rupanya bukan episode terburuk yang kualami hari ini. Dari kejauhan sudah kulihat warna merah mencolok Picanto milik Gandhi parkir manis di depan rumahku. Itu mobil pertama yang dia beli sejak bergabung dengan firma hukumnya sekarang. Klien yang merasa puas dengan performanya memberi bonus. Aku memilihkan warna itu untuknya.

Hatiku diliputi keraguan apakah harus putar balik atau menghadapinya saja.

Tunggu, kenapa juga aku yang menghindar padahal itu rumahku?

Dia pasti sudah dengar dari developer atau agen perumahan tentang keputusanku tetap mengambil unit itu. Makanya dia kemari untuk menggosok luka batinku dengan garam. Aku mengerang pelan. Penampilanku bukan yang terbaik malam ini. Kombinasi rambut lepek, wajah berminyak, dan bau matahari menjatuhkan harga diriku yang ingin kelihatan mengagumkan sejak putus darinya.

Isshh ... kenapa hari ini sial sekali, sih!

Gandhi menungguku di teras. Bu Manda menghidangkannya secangkir teh dan kue brownies panggang. Terlalu baik. Seharusnya diusir saja.

Setelah menurunkan standar motor dan melepas helm dari kepala, Gandhi menghampiriku.

"Dari mana aja jam segini baru pulang?" tanyanya tanpa basa-basi.

Aku menatapnya aneh. Dia nggak punya hak lagi buat nanya begitu. "Bukan urusanmu." Aku melengos untuk melanjutkan perjalanan menuju teras. Tanganku lebih dulu dicekal olehnya. Kutahan rasa nyeri akibat cengkeraman itu. Entah keberanian dari mana, kuhentakkan tanganku sampai cengkeramannya terlepas. Pasti akan meninggalkan bekas besok. Dia biasa melakukan ini. Mencengkeram tangan atau bahuku untuk menunjukkan siapa yang memegang kendali.

Dia tersenyum sinis. "Kamu bilang rela melepasku dan rumah ini, kenapa malah tinggal di sini?"

Aku memutar tubuh untuk memandangnya tepat di mata sambil menekan rasa penat yang melanda. "Rumah ini kubeli dengan uangku, dan aku nggak punya kewajiban buat melaporkan apapun ke kamu."

Perkataanku barusan nggak mempengaruhinya. Gandhi mengamati rumah di belakangku dengan tatapan menilai. "Ibu tirimu nggak ngundang aku masuk."

Masih untung nggak diusir!

"Keluarga Lana minta aku buat bertanggung jawab," lanjutnya tanpa melepas pandangan dari rumahku. Nggak kusangka keputusan itu rupanya datang bukan dari dia sendiri. Gandhi yang kukenal tidaklah sepengecut ini. "Her family is a good catch," imbuhnya setengah bergumam. "Papanya pengacara hebat. Saat aku melamar Lana, aku malah ditawarin buat kerja di firma mereka. Sesekali membantu di LBH."

Meski sudah berusaha buat berhenti peduli, kupingku tetap panas mendengarnya.

"Menurutmu itu berkah atau musibah?" Kali ini Gandhi memandangku. "Waktu aku duduk di teras, aku melihat masa lalu. Aku ingat ekspresimu waktu kuajak ke sini pertama kali. Kamu menciumku di ruang tamu saat nggak ada orang yang melihat. Kamu bilang aku pacar terbaik sedunia."

Aku membuang muka.

"Sampai kapan kamu akan memperlakukanku seperti pecundang?" lanjutnya.

Aku menggertakkan gigi. Bajingan ini. Dia sudah mengikat diri dengan Alana. Kenapa dia masih melakukan ini padaku?

"Untuk apa lagi datang kemari?" tanyaku balik. "Mau ngasih undangan? Nggak perlu repot-repot, Alana udah ngasih undangannya dan aku bilang bersedia datang."

"Harusnya kamu yang ada di sisiku, Ran."

Aku mendengkuskan tawa ironi. "Kalau aja ada cermin yang bisa merefleksikan masa lalu," ujarku kemudian. "Kamu yang bilang sendiri kalau keluarga Lana itu good catch. Karirmu pasti melesat kalau memilih bersamanya. Bukannya itu yang kamu mau selama ini? Karir yang meningkat. Bukannya itu yang diinginkan keluargamu, alih-alih menikahiku yang bukan siapa-siapa? Mereka bilang, cinta aja nggak cukup. Pendidikan dan jabatan bisa memberi kita tempat tertinggi supaya bisa hidup bahagia." Kalimat yang diucapkan oleh orang tua Gandhi memang nggak persis seperti itu, tapi intinya sama saja. Sama-sama nyelekit.

Under The Trumpet Tree [Published by Karos]Where stories live. Discover now