28 - {REDEMPTION FOR EVERYBODY}

9.2K 1.7K 542
                                    

Moles part ini sambil ngantuk-ngantuk. Tolong tandain klo ada typo ya, gaiss ...

Enjoy ...

***

Petisi itu ditandatangani oleh lima ratus ribu orang.

Efeknya pihak kepolisian jadi terdesak untuk membuka ulang kasus Vina di bawah pengawasan masyarakat dan media. Kudengar beberapa advokat di LBH yang pernah mengurusi kasus Vina telah diberi sanksi. Aku nggak mencari tahu detailnya.

Keluarga Vina belum bersedia menemuiku sampai sekarang. Aku cukup maklum. Bertemu denganku hanya akan membuka kembali luka mereka yang belum pulih benar. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah mengikuti perkembangan kasus lewat TV atau media sosial saja. Begitu pun sudah cukup memberiku ketenangan untuk melanjutkan hidup tanpa dibebani rasa bersalah.

Gelak tawa Kaif memecah lamunanku.

Sudah jam delapan malam, namun energi bocah itu nggak habis-habis. Bu Manda sedang keluar bersama Bu Aga sejak sore untuk menjenguk tetangga di rumah sakit. Kaif sengaja ditinggal supaya nggak rewel di sana. Karena nggak ada teman bermain, Ko Barra datang ke rumah untuk menemaninya selagi aku membuat pesanan sambal dari Ci Pan.

Memperhatikan Kaif terkadang menimbulkan perasaan sendu. Bocah sekecil itu harus kehilangan sosok ayah dan dipaksa beradaptasi di lingkungan baru. Selama satu tahun kami di sini, berkeliaran naik sepeda sendirian keliling kompleks menjadi kegiatan favoritnya. Jika sedang nggak mood naik sepeda, dia membangun kerajaan fantasinya sendiri di rumah. Kaif nggak pernah kelihatan sedih sendirian. Tumbuh kembangnya juga kelihatan normal-normal saja.

Nggak jarang aku membujuk anak-anak kompleks agar mau bermain bersama Kaif. Beberapa kuberi iming-iming camilan saat mampir ke rumah. Alih-alih senang didatangi banyak teman sebaya, Kaif malah cuek bebek. Anak-anak itu langsung pulang karena menganggap Kaif nggak asyik. Sejak itu aku kapok mengajak mereka ke sini lagi. Aku berharap Kaif akan dapat teman baru di sekolah barunya nanti.

Aku pernah membahas ini dengan Bu Manda dan Ko Barra. Respon mereka hampir sama. Mereka bilang, Kaif mirip denganku. Jika mereka ingin diterima, mereka harus bersedia masuk ke dunia kami. Sebuah metafora yang akhir-akhir ini sering kupikirkan karena aku nggak merasa begitu.

"Lagi, lagi!" Kaif melompat-lompat minta digendong.

Gara-gara menemani Kaif bermain cosplay jadi Transfomers, Ko Barra batal ke Sasana. Ko Barra menjelma jadi Optimus, sedangkan Kaif si Bumblebee. Musuh mereka tak kasat mata. Dengar-dengar, sih, dinosaurus mirip T-Rex. Ko Barra nggak nampak kelelahan menuruti adikku itu. Energi mereka seimbang.

Belum sempat badannya diangkat, Kaif menguap lebar sambil menggaruk pipinya yang habis digigit nyamuk.

"Besok lagi mainnya. Sekarang istirahat!" ujar Ko Barra.

Kaif menggeleng. "Ayo, main lagi!" Dia mulai merengek. "Nanti aja tidurnya nunggu ibu pulang."

Kegiatanku mengiris kecombrang mendadak terhenti setelah melihat kepala Kaif langsung terkulai di atas bahu Ko Barra. Pemandangan itu membuat mataku berkaca-kaca. Ko Barra dapat memposisikan dirinya menjadi sosok pengganti ayah bagi Kaif. Dia melakukannya secara sukarela dan kelihatan sangat menikmatinya.

Nggak sampai hitungan menit, rumahku jadi hening. Kaif tertidur pulas dalam gendongan Ko Barra.

"Saya taruh di kamar atau gimana?" bisiknya saat menghampiriku di maja makan.

Aku segera mencuci tangan dan mengantarnya ke kamar Bu Manda. Usai memastikan bocah itu tidur dengan nyaman di ranjangnya, kami kembali ke ruang tengah.

Under The Trumpet Tree [Published by Karos]Where stories live. Discover now