3 - {LEMBARAN BARU}

6.3K 1.6K 158
                                    

Rumah yang akan kami tinggali ini berada di lingkungan tenang. Kompleks perumahannya terbilang masih baru karena hanya ada setengah dari total jumlah unit yang berpenghuni termasuk milikku. Selain garasi, setiap unit memiliki halaman depan yang ditanami masing-masing sebuah pohon. Entah apa jenisnya. Mereka baru saja ditanam. Penyangga kayu di sisi batangnya membuktikan dugaanku.

"Kaif main di dalam aja, jangan ikut angkat-angkat!" Aku mencegah bocah empat tahun itu mengangkat kursi belajarnya sendirian. Mendengar teguranku, Kaif kelihatan takut. Jarak usia kami terpaut sangat jauh. Kami juga nggak dekat. Wajar jika dia nggak nyaman berada di dekatku. Toh, aku juga merasakan hal yang sama.

Aku menyewa sebuah pick up untuk mengangkut barang-barang dari rumah lama. Sedangkan barang-barangku sendiri sudah kucicil sejak aku menerima kunci dari agen perumahan beberapa minggu yang lalu.

"Dengerin kakakmu," sahut Bu Manda yang muncul dari rumah untuk membantuku mengangkut meja. "Main di belakang. Halamannya luas!" Setelah mendengar ibunya, barulah Kaif mau turun dari bak pick up dan berlari ke dalam.

"Saya perhatikan rumah yang itu paling besar dan bagus di sini."

Aku ikut menoleh ke arah tatapan Bu Manda. Rumah yang dimaksud berdiri tepat di depan kami. Kalau dibandingkan dengan bangunan lain di kompleks ini, memang rumah itu yang paling mencolok. Luasnya setara dua rumah dijadikan satu. Desainnya modern sekaligus minimalis. Cat kuning dan putih mendominasi.

"Rumah orang kaya," balasku asal.

Umur panjang. Si Pemilik membuka pagar. Seorang wanita berdaster batik dengan rambut disanggul rendah keluar dari rumah itu. Tujuannya rumah kami. Melihat wanita itu datang, Bu Manda menurunkan meja. Aku jadi ikut-ikutan menurunkan karena nggak sanggup membawanya seorang diri.

"Selamat siang," sapa wanita itu ramah.

Wajahnya nampak familier. Tapi aku nggak ingat pernah melihatnya di mana. Wanita itu memandangku agak lama. Rautnya menunjukkan kalau dia punya pikiran yang sama tentangku.

"Karenina Maharani?"

Aku terkejut karena dia tahu nama lengkapku.

"Rani, betul?" tanyanya memastikan.

"Maaf, Ibu siapa, ya?" Sedetik kemudian aku langsung teringat pada sosok wali kelasku saat SMA. Mulutku separuh terbuka karena menyadari siapa dia. "Bu Agatha?"

Wanita itu mengangguk sembari tersenyum lebar, terlihat senang aku dapat mengenalinya sebelum dia menjawab. Buru-buru aku meraih punggung tangannya untuk dicium. Perasaan melankolis itu datang lagi. Hanya saja kali ini disisipi rasa malu. Aku nggak nyangka bisa bertemu beliau di sini.

"Ternyata harus nunggu pensiun dulu supaya bisa ketemu kamu, Ran," ujar beliau. "Mbak ini siapa?" Bu Agatha memandangi Bu Manda heran. "Saya kira kamu anak tunggal."

Usiaku dan Bu Manda hanya berjarak sepuluh tahun. Wajar jika Bu Agatha mengira dia kakakku. Kata orang, wajahku ini selalu nampak sedih. Ketika tersenyum pun, dikira hampir menangis. Teman-temanku di kantor mengira aku sedang membawa beban seisi dunia di pundakku. Jika dibandingkan dengan penampilan Bu Manda yang awet muda, pantas kami terlihat seperti seumuran.

"Saya ibu sambungnya Rani, Bu. Nama saya Amanda." Bu Manda mengulurkan tangan sambil menunduk sedikit, segan.

Bu Agatha menyambut ulurannya dengan antusias. "Oalah ... cantik sekali. Saya kira kakaknya Rani. Saya wali kelasnya waktu SMA dulu. Biasa dipanggil Bu Aga. Kalian pindah kemari?"

Aku dan Bu Manda kompak mengangguk.

Wajah Bu Agatha berseri-seri. "Aduh, senangnya. Akhirnya saya punya tetangga. Saya juga baru di sini, belum setahun. Sepi buanget. Di rumah cuma ada mbak yang nemenin. Ayo, saya bantu angkat-angkat ..."

Under The Trumpet Tree [Published by Karos]Where stories live. Discover now