16 - {DEMOLITION JOB}

5.5K 1.4K 455
                                    

Tolong tandai kalau ada typo, ya. Thank youu...

Enjoy all!

***

From: Ko Barra
Besok nggk usah bawa motor. Bareng sy.

To: Ko Barra
Sampe sore surveynya? Kerjaan kantor gimana?

From: Ko Barra
Ya. Cm 1hr aja survey.

To: Ko Barra
Ok.
Kontrak kapan bisa dikirim?

From: Ko Barra
Stlh survey. After lunch. Sy mau pstikan ada profit/tdk.

To: Ko Barra
Ok.

Kugulir layarku ke atas dan ke bawah pada percakapan dengan Ko Barra semalam. Kami nggak banyak bertukar pesan selain karena urusan pekerjaan. Kepraktisannya mengingatkanku pada sosok Pak Nugraha, atasanku di LBH dulu. Bedanya, Pak Nugraha nggak suka ngomel seperti Ko Barra. Jika bawahannya berbuat salah, Pak Nugraha selalu menegurnya secara pribadi, bukannya diajak berdebat seperti Ko Barra pada Mamet atau pada Ci Pan.

Mungkin ini salah satu alasan karyawan yang ada di kantor sekarang loyal padanya. Ko Barra menganggap bawahannya sebagai rekan kerja yang posisinya setara. Jadi mereka merasa bebas untuk mengemukakan pendapat. Namun menurutku cara kepemimpinan seperti itu nggak terlalu bagus untuk diterapkan karena membuat karyawan jadi semena-mena dan Ko Barra nampak nggak berwibawa.

"Roti lapisnya banyak banget. Buat siapa?" tanya Bu Manda ketika aku memasukkan tiga kotak bekal ke tas.

"Buat Ko Barra sama Mamet, temen saya di kantor. Hari ini kita mau survey ke daerah Surabaya Utara, tempatnya jauh dari mana-mana. Jadi saya bawa bekal buat makan siang." Kugunakan sebagian sisa uang darurat bulan lalu untuk membuat banyak bekal hari ini. Ko Barra nggak akan kenyang makan porsi normal, jadi kuberikan porsi triple untuknya. "Semoga cukup buat dia," gumamku.

"Sebentar, Ran. Saya buatin minumannya sekalian. Kamu bawa termos es nggak pa-pa, 'kan?" Bu Manda bergegas membuka lemari es untuk mengeluarkan buah lemon dan biji selasih.

Aku duduk di sebelah Kaif untuk minum segelas susu yang sudah dibuatkan Bu Manda untukku sebagai sarapan. Ketika aku mengangkat gelas, Kaif meniruku. Begitu pun saat aku meminum susu, dia juga melakukan hal yang sama sambil melihatku.

"Mau bikin apa?"

"Es teh lemon tapi dikasih biji selasih. Seger diminum siang-siang. Cepet kok bikinnya."

"Nggak usah buru-buru, Bu. Hari ini saya berangkat bareng Koko." Aku mengangkat alis tinggi-tinggi ke arah Kaif, penasaran dengan apa yang akan ia tiru selanjutnya. Bocah itu menatapku sambil tersenyum malu. Aku juga balas tersenyum. Otot-otot wajahku bergerak sendiri seiring dengan perasaan hangat yang menjalari dada.

Tepat setelah semua bekal siap, Ko Barra mengklakson dari depan rumah. Aku buru-buru memasang sepatu, lalu berbalik lagi menuju dapur.

"Ada yang ketinggalan, Ran?" tanya Bu Manda heran.

Sebelum aku berubah pikiran, kuraih tangan kanan wanita itu agar aku bisa mencium punggung tangannya. Bu Manda jelas terkejut. Dia hanya bisa memandangku lama.

"Saya pamit. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," balasnya. "Hati-hati, Ran!" Suaranya mengantarku sampai ke pintu.

***

"Bawa apa?" Ekspresi heran tergambar di wajah Ko Barra ketika aku naik ke sebelahnya sambil membawa dua tas jinjing dan termos es.

Under The Trumpet Tree [Published by Karos]Where stories live. Discover now